Fjogur Piano, Sigur Ros
Aku sedang mendengarkan Fjogur Piano dari Sigur Ros, dan
mempertemukan kedua kelopak mataku rapat-rapat...
Aku melihat kita sedang duduk di tepian sungai, ada suara
kecil gemercik air dari sungai itu. Airnya dingin dan jernih. Kita membasuh
wajah kita sambil tersenyum satu sama lain. Lalu kembali duduk di depan tempat
berteduh, tepat di sisi sungai sebelah kiri, di bawah pohon ketapang besar, dan
ada rumput berbunga kuning di bawahnya.
Udara saat itu sejuk memasuki ruangan paru-paru kita, saat
kita asik membicarakan sesuatu yang pernah aku bicarakan dengan seorang yang
lain sebelumnya. Kamu mulai bertanya: “Homoseksual itu penyakit atau bukan?”
dan aku menjawab spontan tanpa memberi kesempatan pada otakku untuk bekerja.
“Iya, kayanya penyakit”. Kamu diam beberapa detik, lalu menghisap sebatang
marlboro merah di jari kirimu matamu melihat lurus ke arah depan, embun di kaca
matamu sedikit menghalangiku untuk menemukan penglihatanmu. “Gue ngga yakin lu
jawab itu penyakit”, katamu pelan. Aku masih bermain bersama dedaunan kering
yang gugur di depanku lalu berpikir dan menengok ke arahmu. “Iya, itu bukan
penyakit. Sakit itu kan menyiksa orang yang merasa dirinya sakit. Lalu, apa
para homoseksual itu merasa tersiksa sama “homoseksualitasnya” yang dicap
beberapa orang sebagai penyakit? Kayanya sih engga, jadi, ya bukan penyakit.”
Sambil melempar daun kering di rangan kiriku aku berhenti berbicara. Matamu
masih melihat lurus ke depan, tersenyum kecil sambil merapihkan kain yang
terikat di kepalamu. Pembicaraan kita berakhir di situ.
Mataku terbuka, tapi di telingaku masih ada Sigur Ros. Aku
baru saja masuk ke dunia utopisku sendiri. Dan satu-satunya cara agar tidak
terkesan menyedihkan adalah menikmatinya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar