Halaman

Minggu, 28 Oktober 2012

UntukMu, Caraku...

"Ini caraku, menikmati bayangan sendu, saat matahari bercumbu, dengan garis horizontal bumi kala sore hendak berlalu. Warna langit senja itu menjadi candu dan menjadi caraku mengagumi lukisanMu..."




Sudah beberapa hari ini aku tidak bertemu matahari sore, seperti tidak bertemu kekasih saja rasanya. warna matahari sore itu selalu menyenangkan, dan selalu punya keajaibannya sendiri untuk membuat aku tertegun dan berdecak kagum pada The Sacred. "lukisanMu, ya lukisanMu luar biasa..." akan selalu bergema di alam bawah sadarku ketika menikmati matahari sore.

Menikmati warna langit ketika matahari bercumbu dengan garis horizontal bumi di sore hari. Mungkin itu salah satu caraku beribadah padaMu. Menurutku, Kamu terlalu "keren" dan "luar biasa" untuk di kotak-kotakan dalam satu kata itu, satu kata yang sebenarnya hanya membatasiku untuk jatuh cinta padaMu, membatasi caraku menyembahMu.

Seisi alam raya ini adalah lukisanMu, aku tak mau membantah itu. Aku percaya Kamu di sini, di hati nuraniku membawa damai. Ia, Kamu Sang Pembawa Damai. Karena itukah Kamu menciptakan senja? Aku yakin karena itu, karena Kamu mencintai kedamaian, dan aku damai saat menikmati lukisanMu itu. 

Sayangnya, sampai saat ini aku masih bingung..kenapa mereka selalu mempermasalahkan cara dan simbol untuk menyembahMu? bahkan meributkan dan menjadi alasan untuk berkonflik? kenapa ya? Bukankah Kamu sudah memberikan kebebasan sebagai hakikat kami, manusia ciptaanMu? Jadi, bukankah kami bisa menyembah dan mencintaiMu dengan cara kami masing-masing? 

Apakah akan ada yang mempemasalahkan caraku mencintaiMu, The Sacred? Karena menikmati senja adalah salah satu caraku menyampaikan rinduku, dan sembahku, UntukMu...?

Sabtu, 27 Oktober 2012

Sebut Saja Namanya Devia


Sebut saja namanya Devia, seorang gadis berusi 21 tahun yang sedang berusaha menemukan berbagai makna atas dirinya sendiri, atas berbagai realitas yang sedang terjadi di sekitarnya.
Dia ada dalam tiga bentuk tatanan (order) yang masing-masing menyerap setiap tindakan mental, dan memberikan pengaruh terhadap dirinya sendiri.

Devia sedang berada dalam tatanan imajiner, dia belum dapat membedakan dirinya dengan individu lain yang ada di sekitarnya. Sederhananya, dia masih sangat menikmati bayangan-bayangan imajiner yang dia ciptakan sendiri. Sebuah bayangan yang membuatnya merasa bahwa segala hal berjalan menyenangkan, termasuk menjadi “pilihan” bagi orang lain. Pada tatanan imajiner ini, Devia merasa segala sesuatu memuaskan, dan bayangan imajiner itu dapat memberikan dan membawa hal-hal menyenangkan dalam hidupnya. Sampai akhirnya, Devia terlalu terlarut, tanpa menyadari bahwa dia telah terasing dari dirinya sendiri. Dia bahkan tidak mengenal siapa dirinya, karena hanya ada bayangan imajiner dan hal-hal menyenangkan yang dinikmatinya. Dia bahkan tidak mengenal kemampuan yang ada dalam dirinya sendiri.
Lalu Devia bercermin, dilihatnya bayangan dirinya sendiri pada sekotak pemantul bayangan itu. dia bergerak, melihat ke dalam mata bayangan dirinya sendiri, berusaha menemukan siapa dirinya, berusaha memberikan makna atas tatapan matanya.

Devia, gadis berusia 21 tahun, kemudian berusaha membentuk kesadaran dalam dirinya sendiri, upaya yang dilakukannya untuk menemukan dan memaknakan setiap simbol-simbol yang ada di sekitarnya, bukan lagi sebagai bayangan imajiner yang akan selalu membawa hal-hal menyenangkan. Bukan lagi...
Kesadaran Devia membawanya pada tatanan simbolik, yang menegaskan bahwa, individu lain di luar dirinya bukanlah dia, bukanlah miliknya, bukan bagian yang akan selalu memberikan nyaman dan bahagia. Bukan lagi..

Simbol-simbol di luar diri Devia adalah makna, logika, dan diferensiasi. Makna bahwa Devia adalah dirinya, bukan sekedar bayangan yang dia temukan di cermin, bukan pula “bayangan imajiner” yang telah dia nikmati. Logika, bahwa dia adalah dirinya, manusia seutuhnya yang memiliki pikiran tak terbatas, yang seharusnya mampu menegaskan pada dirinya sendiri bahwa dia bukanlah “pilihan”, yang menegaskan bahwa Dia adalah Dia, dan Dia berbeda dengan individu lain di luar dirinya. Devia adalah dirinya sendiri, gadis berusia 21 tahun dengan segala kemampuan yang dimilikinya.

Sampai ketika Devia telah menyadari bahwa, tidak ada yang benar-benar real sekalipun dalam tatanan dunia nyata. Setiap individu membutuhkan bayangan imajiner yang dia ciptakan sendiri untuk berhadapan dengan dunia nyata.

Tapi Devia hanyalah seorang gadis berusia 21 tahun. Dia hanya ingin menikmati, bukan lagi menikmati bayangan imajiner yang menjadikannya pilihan. Tapi menikmati Imaji-imaji lainnya selama 21 tahun hidupnya sebagai individu yang utuh, yang berusaha memaknai berbagai hal yang dia temui, berusaha memaknai berbagai simbol yang menjadikannya sebagai “DEVIA” bukan orang lain, bukan dia, dan bukan pilihan kedua.


Devia adalah contoh dari pemikiran Jacques Lacan tentang pemaknaan subjek dalam 3 tatanan (orderII) yaitu Imajiner, Simbolik, dan Real. Lacan berusaha menjelaskan bahwa individu adalah subjek yang membentuk mekanismenya sendiri untuk menciptaka ideologi atas dirinya sendiri.
Dan saya meminjam nama Devia sekaligus pemikiran Lacan untuk “curhat” hahahaha :D

Kamis, 18 Oktober 2012

titik nol (?)

"anggap saja hidupmu seperti sebuah cerita. Di mulai dari satu kata, menjadi kalimat, ada awalan dan akhiran dengan simbol titik. Setelah titik. kemudian akan ada awalan lagi, lalu akhiran lagi. Sampai cerita itu berhenti di sebuah titik terakhir."

Sebenarnya sudah dari kemarin aku memperdebatkan satu pertanyaan yang sangat menarik, setidaknya menurutku begitu. pertanyaan itu tentang bagaimana bentuk (cara) kamu memandang persoalan dan hidup. Aku tertarik pada kalimat kembali ke titik 0, dan kemudian berbagai pertanyaan tentang maksud dan dasar dari segala pemahaman kembali ke titik 0 itu muncul, satu, menjadi dua, menjadi tiga dan menjadi banyak.

Malam ini aku menggambar di sebuah kertas. menggambar sebuah lingkaran, lalu garis lurus vertikal, dan garis lurus horizontal. ada titik 0 di setiap awal garis itu. aku memperhatikan ketiga gambar itu seksama, lalu kemudian menemukan ini...

anggap saja hidupmu adalah cerita dalam sebuah lingkaran bumi yang terus-menerus berputar dengan rotasi yang bertumpu pada satu titik 0 derajat celcius. yaa, mudahnya seperti sebuah cerita, yang di mulai dari awalan kemudian akan diakhiri dengan titik sebagai simbol akhiran. setelah itu akan ada kalimat baru dengan awalan lagi, lalu diakhiri lagi, lalu di awali lagi, dan di akhiri lagi sampai cerita itu selesai.

seperti itu lingkaran, menurutku. ketika kita memulai cerita hidup kita masing-masing, kita memulainya pada titik 0, awal. lalu akan kita susun kata demi kata berdasarkan berbagai pengalaman yang sudah kita temui, menghadapi berbagai persoalan, krisis dan fenomena sampai menjadi sebuah kalimat. dalam satu kalimat perjalanan hidup itu ada banyak pelajaran yang kita temukan. lalu kemudian kita menyusun kalimat berikutnya, dengan awalan lagi, menjalani lagi, dan kembali ke titik. begitu seterusnya seperti sebuah siklus.

kembali ke titik 0 bukan tidak selalu berarti mengulang cerita yang sama. bukan juga mengulang kesalahan yang sama. tapi lebih kepada di mana kita memiliki kesadaran untuk memulai cerita baru, dengan merasa diri "belum matang dan belum puas". pada titik 0 kita akan menemukan bahwa kita tidak bisa lepas dari realitas, tidak bisa lepas dari masyarakat tempat kita mendapatkan pelajaran dan cerita itu tadi. 

Mungkin yang ada di kepalaku ingin menyampaikan begini, titik 0 artinya kita adalah 0, bukan hampa bukan kosong, di dalam lingkaran itu ada isi, tapi dengan kesadaran kita kembali ke titik 0, artinya kerendahan hati untuk terus belajar, untuk terus berproses ada di sana. karena, menurutku, ketika aku sudah merasa "matang" maka aku akan berhenti belajar, berhenti bertanya, dan berhenti berproses. berhenti menulis ceritaku.

tapi aku masih ingin terus bertanya, kenapa tidak garis vertikal, atau horizontal? kenapa 0? bedanya di mana? masih ada saja mereka di kepalaku.

tapi tak apa, seseorang bilang ""Jika hidup tidak untuk berjalan mencari jawaban...hampa." - via:


Jumat, 12 Oktober 2012

Kebebasan adalah Aku

"Kebebasan menjadi diri sendiri, memang tidak bisa dibeli, tetapi di pilih.."

aku sudah berulang kali menulis tentang kalimat ini, mungkin karena aku sangat menyukai kata "kebebasan". Menurutku, kebebasan adalah aku, kebebasan adalah diriku, di mana aku mencari, melihat, memahami, meresapi, mempelajari berbagai hal yang aku dapatkan dari sekitarku. Dari sana, dari realitas yang ada di sekitarku aku mendapatkan banyak hal, dan dengan kebebasan itulah aku bisa menentukan dan menggunakan pilihan rasionalku, bagian mana yang akan ku jadikan akar yang kuat untuk menanam pohon kehidupanku sendiri.

kebebasan, bukan berarti tidak tahu aturan, bukan berarti liar. Kebebasan, menurutku adalah aku, aku dengan berbagai hal dalam diriku, yang tidak akan membiarkan diriku terkekang oleh hal-hal eksternal yang merugikan, memangkas ranting, batang, dan daun dari pohon kehidupanku. aku sadar betul bahwa aku hidup dalam masyarakat yang terikat nilai dan norma, aku sadar betul aku hidup di antara semua itu, tapi bukan berarti aku dengan kebebasan yang ada dalam diriku akan melepaskan diri dari semua itu. Aku ini bebas, aku ini kebebasan diriku sendiri, dan manusia-manusia lain adalah kebebasan mereka sendiri, mereka punya kebebasannya masing-masing, memiliki kemampuan dan keterampilannya sendiri. Ketika aku menjadi diriku, aku akan menghargai dirinya, dirinya dan dirinya yang adalah masyarakat di sekitarku, karena masing-masing kita adalah bebas, termasuk bebas memberikan penilaian terhadap hidupku.

Manusia yang menyadari bahwa dirinya bebas bukan berarti manusia yang tak punya aturan. kebebasan itulah yang akan membawa manusia pada sebuah titik 0, titik di mana kita akan selalu merasa dan tersadar bahwa kita membutuhkan manusia-manusia yang lain untuk belajar. titik di mana kita akan berusaha untuk senantiasa menghargai sesama kita, memberikan manfaat untuk sesama kita. 

Manusia yang bebas menurutku adalah aku, aku yang terlepas dari berbagai kekangan yang merugikanku. aku yang terlepas dari gembok-gembok imajiner yang membatasiku, membatasiku untuk berkarya. aku yang terlepas dari "kandang" yang memberikan sekat-sekat imajiner yang memenjarakan aku untuk terbang, untuk melihat sekitarku, untuk melihat berbagai fenomena, untuk belajar, untuk memahami dan meresapi realitas. aku yang bebas dari rantai-rantai yang membatasiku untuk memberikan manfaat bagi orang lain. Ya, menurutku kebebasan itu adalah aku, aku yang bebas menjadi diriku, melakukan berbagai hal yang menurutku tidak merugikan orang lain. 

Kebebasan itu adalah burung buatan imajinasiku, terbang seimbang, membiarkan sayap kiri menjadi kiri, dan sayap kanan terus menjadi kanan. melihat dunia, melihat realitas. turun menyapa pohon, menyapa alam, menyapa manusia-manusia yang ada di sekitarku.

Kebebasan itu adalah pohon imajinasiku, berdiri megah dengan akar kesadaranku sebagai manusia yang utuh. tumbuh dengan ranting, batang, daun, bunga dan buah yang bisa memberikan manfaat bagi manusia yang lain. tumbuh dengan daun lebat sehingga bisa memberikan keteduhan dan kesegaran bagi orang-orang di sekitarku. 

kebebasan itu adalah aku. 

Minggu, 07 Oktober 2012

Gelap adalah....

"Gelap adalah teman setia dari waktu-waktu yang hilang..."

"Sebelah Mata" - Efek Rumah Kaca

Waktu itu, saya sedang berada di atas jalanan beraspal, di kiri kanan saya ada pemandangan luar biasa. warna langitnya lembayung jingga ada warna hijau dan biru juga di sana, mereka berpadu. Yaa, sore itu, menuju senja. Matahari sudah tenggelam di ufuk timur terjauh, dan langit sudah mulai menggelap. di telinga saya hanya ada satu lagu, "sebelah mata" dari Efek Rumah Kaca.

Lalu mata saya berkeliling, ada banyak bayangan hitam pohon kering di atas bukit. di sebelah kanan dan di sebelah kiri. sama persis seperti bayangan hitam di atas bukit karang saat matahari tenggelam beberapa waktu sebelumnya di pantai Pok Tunggal. 


Tidak banyak yang bisa saya lakukan saat itu, hanya tersenyum dan berbicara pada diri sendiri: "Tuhan, aku mau senyum seperti ini terus.."

***

Dan malam ini, saya duduk di sofa favorit saya, di balik jendela berjeruji besi. Hanya ada satu cahaya dari layar netbook. Sekeliling saya gelap, ya hitam, seperti bayangan pohon-pohon kering, dan bayangan di balik sinar surya yang tenggelam di Pok Tunggal kala itu. Mereka, bayangan itu, gelap ini, menjadi teman paling setia ketika saya hendak masuk ke dunia saya sendiri, menciptakan berbagai adegan ideal dalam imajinasi, menikmati waktu-waktu yang hilang...

Di sebelah mata saya masih ada bayangan di balik surya tenggelam itu, yang saya sadari menjadi sahabat terbaik dari waktu-waktu saya yang hilang. Saya sadar betul dan mengakui tanpa kemunafikan bahwa ada banyak hal yang saya dapatkan dari gelap, dari bayangan di balik surya tenggelam itu, dari berbagai pembicaraan dan perjalanan dengannya. Dan saya sangat menikmatinya seperti menikmati pemandangan luar biasa di setiap sore menuju senja.

***
Hanya ada satu kalimat di kepala saya saat ini "Tuhan, aku mau senyum seperti itu lagi, bersama bayangan yang seperti tapi bukan dia..."

Kamis, 04 Oktober 2012

Pembicaraan...

Fjogur Piano, Sigur Ros


Aku sedang mendengarkan Fjogur Piano dari Sigur Ros, dan mempertemukan kedua kelopak mataku rapat-rapat...

Aku melihat kita sedang duduk di tepian sungai, ada suara kecil gemercik air dari sungai itu. Airnya dingin dan jernih. Kita membasuh wajah kita sambil tersenyum satu sama lain. Lalu kembali duduk di depan tempat berteduh, tepat di sisi sungai sebelah kiri, di bawah pohon ketapang besar, dan ada rumput berbunga kuning di bawahnya.

Udara saat itu sejuk memasuki ruangan paru-paru kita, saat kita asik membicarakan sesuatu yang pernah aku bicarakan dengan seorang yang lain sebelumnya. Kamu mulai bertanya: “Homoseksual itu penyakit atau bukan?” dan aku menjawab spontan tanpa memberi kesempatan pada otakku untuk bekerja. “Iya, kayanya penyakit”. Kamu diam beberapa detik, lalu menghisap sebatang marlboro merah di jari kirimu matamu melihat lurus ke arah depan, embun di kaca matamu sedikit menghalangiku untuk menemukan penglihatanmu. “Gue ngga yakin lu jawab itu penyakit”, katamu pelan. Aku masih bermain bersama dedaunan kering yang gugur di depanku lalu berpikir dan menengok ke arahmu. “Iya, itu bukan penyakit. Sakit itu kan menyiksa orang yang merasa dirinya sakit. Lalu, apa para homoseksual itu merasa tersiksa sama “homoseksualitasnya” yang dicap beberapa orang sebagai penyakit? Kayanya sih engga, jadi, ya bukan penyakit.” Sambil melempar daun kering di rangan kiriku aku berhenti berbicara. Matamu masih melihat lurus ke depan, tersenyum kecil sambil merapihkan kain yang terikat di kepalamu. Pembicaraan kita berakhir di situ.

Mataku terbuka, tapi di telingaku masih ada Sigur Ros. Aku baru saja masuk ke dunia utopisku sendiri. Dan satu-satunya cara agar tidak terkesan menyedihkan adalah menikmatinya....

Selasa, 02 Oktober 2012

Menikmati Utopis, Versi Saya....

Kita sering menciptakan mimpi-mimpi kita sendiri, dan hal yang paling esensial dari adanya mimpi adalah harapan untuk menjadi kenyataan. Secara umum memang begitu, kita bermimpi karena berharap itu terjadi. lalu bagaimana jika kita menciptakan mimpi yang ideal, tapi kita tahu bahwa mimpi itu sulit untuk tercapai? bahkan mungkin tidak akan tercapai. Hanya sekedar mimpi, ideal, tapi "kering"....


kondisi itu yang sedang ada dalam kepala saya, seperti membangun adegan-adegan yang ideal, dalam mimpi. Padahal, saya sendiri paham betul bahwa mimpi ini akan sulit tercapai atau mungkin saya sendiri tidak bisa mengharapkan mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Pesimis, kering, utopis...

Kata sifat utopis digunakan untuk merujuk ke sebuah proposal yang baik namun tidak mungkin terjadi, atau paling tidak merupakan sesuatu yang sulit dilaksanakan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Utopia). "proposal" yang baik namun tidak mungkin terjadi, atau paling tidak sulit untuk dilaksanakan. Ya, "proposal" itu adalah apa yang kita harapkan untuk terjadi, bukan? sebut saja proposal itu mimpi...

lalu untuk apa saya bermimpi? 

lalu kemudian saya berpikir lagi. untuk sebagian orang, kondisi ini sangat dinikmati. menciptakan mimpi seideal mungkin, meski mereka tau itu akan sulit dilaksanakan. tapi mereka menikmati, untuk sekedar menghibur diri sendiri, atau untuk membangun kembali tembok-tembok optimis dengan caranya sendiri. mereka masih menikmati, mungkin menunggu lelah dan waktu yang tepat untuk berhenti.

menyedihkan, pikir saya kemudian. 

mereka hanya buang-buang waktu. ahtapi, kalau mereka menikmati, apakah itu bisa dikatakan buang-buang waktu? kalau mereka menikmati, apakah itu bisa dikatakan menyedihkan? mereka menikmati mimpi-mimpi ideal itu, menikmati kondisi itu, bukan menikmati kesedihan.

lalu saya diam, membiarkan lantunan "sadar dan melantunkan..terang yang kau dambakan...hilanglah semua yang kau tanya..." penggalan lirik The Trees and The Wild bergema di telinga saya. 

orang yang berada dalam kondisi utopis, punya mimpi tapi tak bisa berharap mimpi itu menjadi kenyataan karena sangat sulit tercapai. tapi, orang-orang yang berada dan "menikmati" kondisi utopis, akan membangun mimpi itu terus-menerus, setiap malam. Dipikirkan terus-menerus, setiap malam. lalu mimpi itu diterima semesta, dan akan dikembalikan kepada si pemimpi..

akhirnya saya mendapatkan kesimpulan. Utopis atau tidak utopis, kamu hanya butuh satu kata "menikmati". karena dengan menikmati, kata "menyedihkan" tidak akan pantas mendeskripsikan kondisi "utopis" sekalipun. dengan menikmati, kamu akan memikirkannya terus-menerus, bukan? kamu hanya menikmati, tidak banyak tuntutan akan keharusan tercapai, bukan? 

Jadi, nikmati saja mimpi-mimpi yang sudah kamu bangun, mimpi utopis sekalipun akan dikalahkan oleh tindakan yang disebut "menikmati". Bangun saja tembok mimpi-mimpi utopismu, pikirkan saja setiap saat, setiap bengong, setiap malam. Secara sadar atau tidak mimpimu sudah diterima semesta, dan akan dikembalikanNya di waktu yang tepat...

yaa, ini cara saya untuk membangun tembok optimis, menghibur diri dan menikmati mimpi-mimpi utopis saya...sambil menunggu lelah dan waktu yang tepat untuk berhenti :D