Halaman

Senin, 16 Juni 2014

Guru.

28 Juni 2013, seorang pendeta yang memberitakan Firman Tuhan dalam ibadah ucapan syukur HUT ibu saya berkata "Hiduplah untuk melayani sesama, janganlah kamu hidup untuk dirimu sendiri" Sampai detik ini saya masih ingat dengan jelas, kalimat itu masuk ke alam bawah sadar saya ketika sang ibu berdiri di depan stand mic di teras rumah dan matanya terarah pada saya.

31 Desember 2013, saya menulis sebuah catatan kecil di notes smartphone saya, salah satu di antaranya adalah kalimat ini:
    
my notes, Dec 31st 2013

Saya pernah dengan sadar, bercita-cita untuk menjadi seorang guru. saya SMA di sekolah swasta di bawah asuhan Yayasan Pendidikan Guru Republik Indonesia (PGRI), lalu kuliah di sebuah Universitas Negeri bekas Institut Keguruan Ilmu Pendidikan atau IKIP yang sekarang dikenal sebagai Universitas Negeri Jakarta, dengan jurusan Pendidikan Sosiologi. Saya yakin ini bukan sebuah kebetulan.

Nikmat menjadi seorang tenaga pengajar dalam program pengalaman lapangan di sebuah Sekolah Negeri di Jakarta Timur juga pernah saya rasakan. meskipun hanya mengajar selama 1 semester, tapi saya sudah banyak belajr di sana, menerapkan beberapa hal dari apa yang saya baca dalam beberapa buku seperti "sekolah yang membebaskan" dan novel kesukaan saya "totochan". Tidak dapat diingkari bahwa mengajar di SMA Negeri dengan tingkat ekonomi siswa yang menengah ke atas sangatlah mudah, mereka cenderung lebih mudah mendapat fasilitas, menggunakan akses teknologi dan sebagainya yang menunjang proses pembelejaran. dan saya sendiri merasa, semua berjalan dengan mudah.

Dan, sekarang, saat ini di tahun 2014 ini, di tengah kegalauann hati saya yang sedang duduk menulis di ruang guru sebuah Sekolah Mengengah Pertama yang baru saja (kembali) didirikan oleh Yayasan Pendidikan Kristen Gepsultra (setelah pernah berdiri tahun 1980an dan terpaksa ditutup tahun 1998 karena kekurangan tenagah pengajar). Saya sudah menjadi seorang guru. Ya, Guru honorer.

Sejak awal saya diajak untuk "melayani" di SMP Oikoumene ini saya sudah diberitahu oleh seorang senior di gereja secara tegas dan penuh kasih bahwa menjadi guru di sini adalah sebuah "pelayanan". Ya, saya sangat bersemangat, saya sangat bersukacita ketika pada akhirnya Tuhan membukakan jalan untuk saya menggapai apa yang menjadi cita-cita saya. apa yang menjadi kalimat-kalimat dalam setiap doa saya.

Lalu kemudian, saya saat ini duduk di ruang guru yang sepi, murid-murid saya sudah pulang, mereka yang meminta pulang karena kegiatan belajar sudah selesai. melihat wajah-wajah mereka yang polos saya seperti di tampar. Jujur saja, saya sedang kebingungan, menghadapi berbagai tuntutan dari orang tua (yang secara langsung maupun tidak disampaikan oleh mereka) untuk mencari pekerjaan dengan upah yang baik, atau tetap mengerjakan apa yang sudah menjadi cita-cita saya, yang sedang saya kerjakan saat ini.

Ditengah kebingungan itu saya kembali membayangkan, bagaimana senyum anak-anak murid saya, yang selalu bersemangat (atau disebut ribut bagi beberapa guru lain) ketika saya masuk kelas, yang selalu senyum dan bangga mengatakan "Bu Guru, saya kemarin lihat bu guru baca berita di Kompas TV" atau yang selalu bertingkah macam-macam untuk mencari perhatian (atau yang sering disebut nakal oleh guru lain). mereka, mereka adalah harta yang berharga, yang membuat saya berpikir bahwa, betapa kejamnya saya kalau saya memilih untuk meninggalkan mereka demi gaji yang lebih besar. sedang di sisi lain, ketika saya kembali ke rumah, akan ada perasaan seharusnya saya sudah bisa membantu orang tua saya, minimal untuk bayar listrik. kedua perasaan itu yang selalu bergulat dalam hati dan pikiran saya.


Saya mau menjadi seorang guru, apakah yang kita cari dalam hidup? materi yang berlimpah untuk menikmati hidup? atau melayani sesama dengan apa yang telah kita punya untuk menghidupi hidup?

Saya yakin, guru-guru di pedalaman sana menghadapi tantangan yang jauh lebih besar dari apa yang saya hadapi saat ini, tetapi Tuhan meneguhkan hati mereka, karena mereka tidak hidup untuk diri sendiri. Saya berharap saya juga diberikan keteguhan hati untuk tetap setia mengerjakan apa yang saya yakini saat ini.

murid-murid saya punya hak untuk mengembangkan potensi yang mereka punya, mengembangkan kemampuan, nilai cinta dan kasih yang mereka punya, dan untuk itulah saya ada di sini saat ini. saya yakin ini bukan sebuah kebetulan.

"aku ni bukan nak jadi istri saudagar, pak ci. aku ni nak jadi guru" Ibu Muslimah, Laskar Pelangi

Selasa, 15 April 2014

gaun.

Di hadapanku ada selembar kain putih. Aku ingin membuat sebuah pola baju yang akan kujahit sendiri, dan akan ku kenakan saat aku akan berada dalam sebuah peti seukuran badanku. Mmm, mungkin akan lebih lebar dan panjang sedikit.

Aku mulai menggambar sebuah titik, titik kecil di atas kain putih polos itu, titiknya nyaris tak terlihat memang, tapi kupikir setidaknya aku sudah mulai menggambar. Lalu aku diam. Mataku hanya memandang dalam satu titik itu, keningku sudah mulai berkerut, mataku mulai berkaca-kaca hingga titik itu terlihat tidak fokus. Di dalam kepalaku ada banyak sekali gambar, banyak sekali, dan aku tak tau harus menarik garis apa dari titik kecil itu.

Gaun, ya sebuah gaun yang indah ingin kubuat, hingga aku bisa terlihat cantik saat tidur di dalam peti itu. memegang bunga dan tersenyum pada orang-orang yang datang dan mengatakan “dia guru yang hebat”.
Lalu air mataku mulai terjatuh tepat di atas titik itu, membuatnya sedikit membesar, namun memudarkannya. Kupegangi kepalaku, teriakanku tercekik di tenggorokan. Tak mungkin aku berteriak, aku sedang berada di rumah. Teriakanku bisa membangunkan Bapak yang pasti akan membetakku. Dan aku kemudian meletakan kepalaku di atas kain itu. Pola-pola gaun itu ada di dalam kepalaku, gaun itu mungkin akan kuberi motif, motif huruf dan not, lalu ada juga gambar seorang anak kecil bermain harmonika sembari mengerjakan PR matematikanya. Mungkin akan sedikit kuberi cat orange seperti senja, dan akan kuberi titik-titik biru seperti hujan. Kemudian ada pula gambar segerembolan anak yang bernyanyi dan bertepuk tangan bersama.
Gambar-gambar yang ada di kepalaku terlalu menyenangkan, terlalu indah, dan terlalu banyak. Sayang, aku bahkan tak tau harus mulai menggambar dari mana. Aku hanya punya kain dan pensil hitam saja. Tidak ada yang lain. Iya, aku berada di rumah, tapi aku sama sekali tidak tau harus mulai dari mana, untuk mencari di mana jarum dan benang untuk menjahit, di mana payet untuk membuat motif dan segalanya untuk menjadikan gaun itu indah seperti gambar di kepalaku.


Mungkin aku hanya akan mengenakan gaun buatan orang tuaku...  

Rabu, 11 Desember 2013

Cahaya

Kemarin sore, sekitar pukul lima, ku kayuh sepeda unguku. Pedal dan kakiku bekerja sama dengan baik, begitu pula alunan lagu-lagu coldplay dan pure Saturday di telingaku. Kerja sama yang luar biasa  hingga mengeluarkan energi negatif bersama keringat yang kemudian segera menguap bersama angin sore, di kota kelahiran yang mulai kembali menumbuhkan rasa cintaku. Melewati pasar tradisional dengan aroma khas ikan-ikan segar, lalu senyum sederhana ibu-ibu penjual ikan dengan bedak dingin yang sudah membeku di wajahnya, membahagiakan.

Di sebelah kananku ada barisan bukit, dan di bawahnya juga berbaris rapih rumah-rumah warga. Di sebelah kiriku ada hamparan teluk dengan gelombang air yang sederhana, pelan-pelan mengayun lembut perahu-perahu nelayan yang berlabuh romantis di atasnya. Dan, di hadapanku ada lukisan The Sacred yang menawan, awan dan langit berwarna sore, yaa sedikit jingga kebiruan.

Sedikit mendung sore itu. commulus nimbus berhasil menyembunyikan bulat matahari, tetapi tidak cahayanya. Aku percaya bahwa cahaya memiliki kecepatan yang luar biasa. Mereka bisa menembus awan tebal dan menjadi sebuah bias warna yang menakjubkan. Dan pemandangan itu yang akhirnya merayu aku untuk segera berhenti mengayuh sepedaku. Bersyukurlah aku memiliki tanah kelahiran yang indah, di mana aku bisa dengan sederhana duduk di pinggir teluk dan menikmati sore tanpa suara bising klakson dan asap knalpot kendaraan yang bertumpuk.

Kembali, imajinasiku begitu menyenangkan, menyusun kata menjadi kalimat yang aku simpan dalam sebuah memori tentang awan gelap dan pelangi di atasnya. Iya, sore itu ada pelangi di atas awan mendung, dan bias cahaya kuning keemasan menembus sisi-sisi gelapnya.

Cahaya.. tidak ada yang bisa menghalanginya.. bahkan gelap sekalipun...

Mungkin matahari tiada oleh malam, tapi tidak cahayanya. Ia tetap terlihat melalui bintang. Mungkin bintang tidak terlihat oleh hujan. Iya, mereka memang tidak telihat, tetapi hanya sementara, hujan tidak mampu menghalangi selamanya. Cahaya, menakjubkan.

Aku berpikir bahwa, begitu cahaya memiliki kekuatan yang luar biasa, ia bahkan bisa membiaskan pelangi yang selalu damai di mata setiap kita. Aku akan menjadi sepertimu, cahaya...

Cahaya tak hidup untuk dirinya sendiri. Ia tak bersembunyi. Ia selalu berusaha menembus awan, menembus gelap. Itulah mengapa semua orang begitu bersyukur akan keberadaannya. Aku akan menjadi sepertimu, cahaya...

***

“Jadilah terang, bukan di tempat yang terang. Jadilah terang di tempat yang gelap”


Kamis, 05 Desember 2013

Decision

Dibulan keenam tahun 2013 ini, ibuku berulang tahun dan beliau memutuskan untuk mengadakan ibadah syukur sebagai wujud terimakasih kepada The Sacred. Dalam rangkaian khotbah pada ibadah syukur itu aku mengingat sebuah kalimat “hiduplah untuk melayani orang lain, jangan kiranya kamu hidup hanya untuk dirimu sendiri.”

...

Sudah hampir satu semester aku merayakan bebasnya masa rantau di tanah kelahiranku, Kota Kendari. Ku pikir akan mudah melewati cultural shock karena aku sudah banyak minum dari mata air tanah anoa ini. Nyatanya, sampai pukul 11:30 WITA dipenghujung November ini, emosiku masih beria-ria berteriak “Jakarta selalu punya banyak akses dan gue bisa lebih gampang maju kalau hidup di sana.”

Bersyukur hari ini aku melewati banyak jalan tikus, karena aku tidak mengenakan helm saat diboncengi teman siang tadi. Aku kemudian tahu, Kendari cukup menyenangkan. Aku hanya butuh membuka mata dan melihat ke setiap seluk. Kadang, kita memang butuh waktu untuk “melanggar aturan” dan lalu melewati “jalan-jalan tikus”. Ketika aku memilih untuk memakai pengaman kepala dan melewati jalan besar yang biasanya aku lewati, aku sudah tahu arahnya, dan sudah ku tau di sebelah kiri dan kanannya ada toko dan pedagang apa saja. Berbeda ketika aku memilih untuk sedikit melanggar aturan dan melewati jalan-jalan tikus, aku bisa menemukan beberapa pandangan baru di sana, seperti lapangan bola luas di atas bukit dan senja bisa begitu merona jika dinikmati dari atas sana. Atau sekedar melihat anak-anak kecil bermain gundu di pinggiran gang.

Begitu pula dengan aku. Tidak sedikit waktu ku habiskan bermain di “jalan-jalan tikus” dan “melanggar aturan” ketika aku menunaikan tugasku sebagai mahasiswa di Ibu Kota Negara. Ada begitu banyak hal dari “jalan-jalan tikus” yang membentuk isi kepalaku, sehingga membuatku jenuh dan bosan jika aku harus terus menerus melewati jalan utama. Tapi, kali ini aku menuntut diriku untuk lebih bijak. Emosi mudaku memang terlalu membara dan dengan angkuh berkata “aku bisa mencari jalanku sendiri! Aku tahu apa yang aku inginkan!” tanpa berpikir panjang dan tanpa berpikir tanggung jawab. Emosi mudaku terlalu berdiri tegak dan sombong mendangakan kepala sampai ketika aku mendengar sebuah kalimat “Kalau saya, saya mau hidup saya menghasilkan karya untuk orang lain...hidup itu tentang mengambil keputusan...” kurang lebih begitu...

Kalimat itu persis tertuju ke ubun-ubun kepalaku, lalu menjatuhkan keangkuhanku untuk memilih jalanku sendiri. Kalimat itu pula yang menghantar aku pada kalimat lainnya yang aku dengar di bulan ke enam tahun 2013 ini. Ada satu sel yang bekerja dengan penuh semangat membuka ruang di kepalaku dan mengijinkan aku untuk memasukan sebuah keputusan yang sudah seharusnya ku ambil saat ini.
“Hiduplah untuk melayani orang lain, janganlah kiranya kamu hidup untuk dirimu sendiri” menjadi sebuah kalimat yang aku tempel rapih di dinding ruangan baru di kepalaku. Ke sanalah aku menuju. Entah aku akan melewati jalan utama, lalu sedikit belok ke jalan tikus dan kemudian kembali ke jalan utama untuk tiba ke sana. Itu semua improvisasiku saja. Itu keputusanku.

Aku pernah mendengar sebuah kalimat lain dari sebuah film: “Aku ni hidup bukan nak jadi istri saudagar, Pakci. Aku ni nak jadi guru.”


---

Sabtu, 21 September 2013

senja. cita.

Seperti jingga senja kali ini, aku sedang tertunduk lemas, badanku panas, dan air mataku masih meretas pecah di pipi bagian atas. tiba-tiba saja warnamu menyapa "hai" dari balik pohon di tas bukit tepat di seberang balkon belakang rumahku.

aku begitu kegirangan dan bersukacita menyambut datangmu, tadinya ku pikir tak akan kau sapa aku sore ini karena awan begitu tebal, ternyata kamu memang senang membuat kejutan. dan kali ini aku benar-benar terkejut, indah sekali warnamu sore ini, seperti senja yang selalu aku rindukan, yang selalu ingin aku nikmati setiap hari, yang selama ini selalu terlewatkan olehku...

aku mendambamu senja, masih saja kamu berdiam cantik, anggun, dan indah diujung sana.

tapi sayang, perlahan warna emasmu mulai dilenyapkan malam. sebenarnya bukan malam...

aku tau, senja...
kamu tidak pernah benar-benar dilenyapkan malam. mungkin di belahan dunia timur jinggamu sudah menjadi hitam. tapi di bagian dunia sebelah barat, kamu masih bersinar, begitu juga dibagian barat lainnya, dan seterusnya, dan seterusnya...

kamu tidak akan pernah benar-benar lenyap, senja. kecuali hujan menghalangimu. kamu tak akan berdaya melawannya.

kamu tau maksudku? kamu sama seperti cita-cita, tidak pernah benar-benar lenyap, kecuali restu orang tua menghalangimu. dan kali ini aku sama sekali tidak punya daya melawannya.


Selasa, 30 April 2013

dry.


Aku pernah berjalan-jalan di sebuah taman kota. Banyak pohon rimbun dan sejuk di sana, namun salah satu pohon berdaun lebat dan berbunga merah jambu seolah memanggil-manggilku untuk duduk berteduh di bawahnya. Di sana ada sebuah bale yang terbuat dari bambu, “sejuk sekali” pikirku sembari berjalan mendekati pohon itu, lalu duduk menikmati angin dan tarian dedaunannya. sesaat setelahnya, seorang perempuan cantik berambut panjang menghampiriku. “sudah lamakah anda di sini?” sambil memegang sebuah alat penyiram tanaman yang terbuat dari aluminium berbentuk corong, matanya menatapku tajam. “belum lama, aku hanya menumpang untuk berteduh. Aku senang melihat bunga merah jambu pohon ini” aku bergegas berdiri sambil merapikan beberapa kertas yang kugunakan untuk menulis dan menggabar sang pohon.

Perempuan itu cantik sekali, rambutnya digerai panjang berwarna hitam dan lurus. Aku tak begitu paham mengapa perempuan itu menyorotku dengan tatapan tajam. Kuperhatikan gerak-geriknya saat menyirami pohon rimbun berbunga merah jambu itu dengan penuh cinta. Namun, sesaat setelahnya, ia melangkah jauh dan meninggalkan sang pohon. Aku pun demikian, berjalan  menjauh, meninggalkan taman kota dan pohon rimbun nan malang itu.

Kala itu kudengar ada badai, membuat satu per satu kelopak bunga dari pohon tersebut terhempas angin lalu jatuh ke tanah. Angin yang lebih kencang kemudian merontokkan daun-daun hijaunya. Terik matahari juga ikut mengeringkan ranting-rantingnya. Orang-orang bercerita bahwa pohon rimbun berbunga merah jambu kini menjadi kering. Tak ada lagi daun hijau yang meneduhkan, tak ada lagi kelopak-kelopak bunga merah jambu yang menghiasinya. Rantingnya rapuh, tak mampu lagi memberi sedikit saja rasa teduh. Tak lagi...

“Di mana perempuan itu?” bertanya aku dalam benak saat kembali ke taman kota. Rindu yang membawaku ke sana. Aku hanya ingin melihat, daun-daun hijau rimbun yang dulu membuatku duduk, menulis dan menggambar di bawahnya. Aku hanya rindu. Tak bermaksud untuk menyiram atau memberinya pupuk untuk kembali menumbuhkan daun-daun hijau dan kelopak-kelopak bunga merah jambunya. Sungguh, aku hanya rindu...

Rabu, 24 April 2013

BAB TIGA.

beberapa orang mungkin sudah mempersiapkan alur hidupnya seperti membuat skema untuk mengerjakan skripsi, mulai dari bab 1 memilih apa yang menjadi fokus, mencari konsep-konsep dan landasan dalam menjalani hidup, sampai melihat referensi-referensi dari pengalaman hidup orang lain. kemudian, lanjut ke bab 2, mulai belajar dari masa lalu, menunjukan profil dan eksistensi diri kepada sekitar, mungkin untuk mendapat pengakuan keberadaan, hehe. setelah itu melangkah ke bab yang lebih sulit, yang dalam pengerjaannya seringkali berubah-ubah, bab 3....

...bab 3 ini yang seringkali berjalan tidak sesuai rencana, karena ternyata apa yang ditemui dalam realitas seringkali jauh berbeda dengan asumsi sebelumnya. Ini yang membuat banyak hal berubah pada tahap bab 3, di rombak lagi, membuat rencana baru, salah lagi, buat lagi, sampai menemui titik yang tepat dan pas. jika boleh mengutip lirik dari lagu surrender yang dinyanyikan float, mungkin bab 3 ini bisa digambarkan seperti ini :
--- things wont be as easy as it often seems---
--- this i've never thought before---

gue merasa seperti sedang mengerjakan bab 3 saat ini, sama persis seperti mengerjakan bab 3 skripsi gue beberapa bulan yang lalu. ada banyak kenyataan yang tidak begitu sesuai dengan rencana sebelumnya. yang akhirnya harus gue belokan ke sana, lalu ke sini. dan yaaa things wont be as easy as it often seems emang... dan gue emang ngga berpikir dan menyiapkan diri untuk ini sebelumnya.

tapi, gue meyakini bahwa, sesusah-susahnya mengerjakan bab 3, gue pasti bisa selesaikan dengan baik. sama seperti menyelesaikan skripsi. ahahaha. sebuah analogi yang rada aneh sih. tapi ya suka-suka guelah yahhh :D

ketika bab3 ini selesai, gue akan melanjutkan ke tahap yang jauh lebih sulit...bab 4..dimana gue akan menemui berbagai hal yang akan gue jawab dengan prinsip (konsep) hidup gue. sampai ketika semua itu melewati tahapnya, finishing akan begitu indah di bab 5.

tapi tetep siiiihhh Things Wont Be As Easy As It Often Seems...