31 Desember 2013, saya menulis sebuah catatan kecil di notes smartphone saya, salah satu di antaranya adalah kalimat ini:
![]() | |||
my notes, Dec 31st 2013 |
Saya pernah dengan sadar, bercita-cita untuk menjadi seorang guru. saya SMA di sekolah swasta di bawah asuhan Yayasan Pendidikan Guru Republik Indonesia (PGRI), lalu kuliah di sebuah Universitas Negeri bekas Institut Keguruan Ilmu Pendidikan atau IKIP yang sekarang dikenal sebagai Universitas Negeri Jakarta, dengan jurusan Pendidikan Sosiologi. Saya yakin ini bukan sebuah kebetulan.
Nikmat menjadi seorang tenaga pengajar dalam program pengalaman lapangan di sebuah Sekolah Negeri di Jakarta Timur juga pernah saya rasakan. meskipun hanya mengajar selama 1 semester, tapi saya sudah banyak belajr di sana, menerapkan beberapa hal dari apa yang saya baca dalam beberapa buku seperti "sekolah yang membebaskan" dan novel kesukaan saya "totochan". Tidak dapat diingkari bahwa mengajar di SMA Negeri dengan tingkat ekonomi siswa yang menengah ke atas sangatlah mudah, mereka cenderung lebih mudah mendapat fasilitas, menggunakan akses teknologi dan sebagainya yang menunjang proses pembelejaran. dan saya sendiri merasa, semua berjalan dengan mudah.
Dan, sekarang, saat ini di tahun 2014 ini, di tengah kegalauann hati saya yang sedang duduk menulis di ruang guru sebuah Sekolah Mengengah Pertama yang baru saja (kembali) didirikan oleh Yayasan Pendidikan Kristen Gepsultra (setelah pernah berdiri tahun 1980an dan terpaksa ditutup tahun 1998 karena kekurangan tenagah pengajar). Saya sudah menjadi seorang guru. Ya, Guru honorer.
Sejak awal saya diajak untuk "melayani" di SMP Oikoumene ini saya sudah diberitahu oleh seorang senior di gereja secara tegas dan penuh kasih bahwa menjadi guru di sini adalah sebuah "pelayanan". Ya, saya sangat bersemangat, saya sangat bersukacita ketika pada akhirnya Tuhan membukakan jalan untuk saya menggapai apa yang menjadi cita-cita saya. apa yang menjadi kalimat-kalimat dalam setiap doa saya.
Lalu kemudian, saya saat ini duduk di ruang guru yang sepi, murid-murid saya sudah pulang, mereka yang meminta pulang karena kegiatan belajar sudah selesai. melihat wajah-wajah mereka yang polos saya seperti di tampar. Jujur saja, saya sedang kebingungan, menghadapi berbagai tuntutan dari orang tua (yang secara langsung maupun tidak disampaikan oleh mereka) untuk mencari pekerjaan dengan upah yang baik, atau tetap mengerjakan apa yang sudah menjadi cita-cita saya, yang sedang saya kerjakan saat ini.
Ditengah kebingungan itu saya kembali membayangkan, bagaimana senyum anak-anak murid saya, yang selalu bersemangat (atau disebut ribut bagi beberapa guru lain) ketika saya masuk kelas, yang selalu senyum dan bangga mengatakan "Bu Guru, saya kemarin lihat bu guru baca berita di Kompas TV" atau yang selalu bertingkah macam-macam untuk mencari perhatian (atau yang sering disebut nakal oleh guru lain). mereka, mereka adalah harta yang berharga, yang membuat saya berpikir bahwa, betapa kejamnya saya kalau saya memilih untuk meninggalkan mereka demi gaji yang lebih besar. sedang di sisi lain, ketika saya kembali ke rumah, akan ada perasaan seharusnya saya sudah bisa membantu orang tua saya, minimal untuk bayar listrik. kedua perasaan itu yang selalu bergulat dalam hati dan pikiran saya.
Saya mau menjadi seorang guru, apakah yang kita cari dalam hidup? materi yang berlimpah untuk menikmati hidup? atau melayani sesama dengan apa yang telah kita punya untuk menghidupi hidup?
Saya yakin, guru-guru di pedalaman sana menghadapi tantangan yang jauh lebih besar dari apa yang saya hadapi saat ini, tetapi Tuhan meneguhkan hati mereka, karena mereka tidak hidup untuk diri sendiri. Saya berharap saya juga diberikan keteguhan hati untuk tetap setia mengerjakan apa yang saya yakini saat ini.
murid-murid saya punya hak untuk mengembangkan potensi yang mereka punya, mengembangkan kemampuan, nilai cinta dan kasih yang mereka punya, dan untuk itulah saya ada di sini saat ini. saya yakin ini bukan sebuah kebetulan.
"aku ni bukan nak jadi istri saudagar, pak ci. aku ni nak jadi guru" Ibu Muslimah, Laskar Pelangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar