Dibulan keenam tahun 2013 ini, ibuku berulang tahun dan
beliau memutuskan untuk mengadakan ibadah syukur sebagai wujud terimakasih
kepada The Sacred. Dalam rangkaian khotbah pada ibadah syukur itu aku mengingat
sebuah kalimat “hiduplah untuk melayani orang lain, jangan kiranya kamu hidup
hanya untuk dirimu sendiri.”
...
Sudah hampir satu semester aku merayakan bebasnya masa
rantau di tanah kelahiranku, Kota Kendari. Ku pikir akan mudah melewati cultural shock karena aku sudah banyak
minum dari mata air tanah anoa ini. Nyatanya, sampai pukul 11:30 WITA
dipenghujung November ini, emosiku masih beria-ria berteriak “Jakarta selalu
punya banyak akses dan gue bisa lebih gampang maju kalau hidup di sana.”
Bersyukur hari ini aku melewati banyak jalan tikus, karena
aku tidak mengenakan helm saat diboncengi teman siang tadi. Aku kemudian tahu,
Kendari cukup menyenangkan. Aku hanya butuh membuka mata dan melihat ke setiap
seluk. Kadang, kita memang butuh waktu untuk “melanggar aturan” dan lalu
melewati “jalan-jalan tikus”. Ketika aku memilih untuk memakai pengaman kepala
dan melewati jalan besar yang biasanya aku lewati, aku sudah tahu arahnya, dan
sudah ku tau di sebelah kiri dan kanannya ada toko dan pedagang apa saja.
Berbeda ketika aku memilih untuk sedikit melanggar aturan dan melewati
jalan-jalan tikus, aku bisa menemukan beberapa pandangan baru di sana, seperti
lapangan bola luas di atas bukit dan senja bisa begitu merona jika dinikmati
dari atas sana. Atau sekedar melihat anak-anak kecil bermain gundu di pinggiran
gang.
Begitu pula dengan aku. Tidak sedikit waktu ku habiskan
bermain di “jalan-jalan tikus” dan “melanggar aturan” ketika aku menunaikan
tugasku sebagai mahasiswa di Ibu Kota Negara. Ada begitu banyak hal dari “jalan-jalan
tikus” yang membentuk isi kepalaku, sehingga membuatku jenuh dan bosan jika aku
harus terus menerus melewati jalan utama. Tapi, kali ini aku menuntut diriku
untuk lebih bijak. Emosi mudaku memang terlalu membara dan dengan angkuh
berkata “aku bisa mencari jalanku sendiri! Aku tahu apa yang aku inginkan!”
tanpa berpikir panjang dan tanpa berpikir tanggung jawab. Emosi mudaku terlalu
berdiri tegak dan sombong mendangakan kepala sampai ketika aku mendengar sebuah
kalimat “Kalau saya, saya mau hidup saya menghasilkan karya untuk orang
lain...hidup itu tentang mengambil keputusan...” kurang lebih begitu...
Kalimat itu persis tertuju ke ubun-ubun kepalaku, lalu
menjatuhkan keangkuhanku untuk memilih jalanku sendiri. Kalimat itu pula yang
menghantar aku pada kalimat lainnya yang aku dengar di bulan ke enam tahun 2013
ini. Ada satu sel yang bekerja dengan penuh semangat membuka ruang di kepalaku
dan mengijinkan aku untuk memasukan sebuah keputusan yang sudah seharusnya ku
ambil saat ini.
“Hiduplah untuk melayani orang lain, janganlah kiranya kamu
hidup untuk dirimu sendiri” menjadi sebuah kalimat yang aku tempel rapih di
dinding ruangan baru di kepalaku. Ke sanalah aku menuju. Entah aku akan
melewati jalan utama, lalu sedikit belok ke jalan tikus dan kemudian kembali ke
jalan utama untuk tiba ke sana. Itu semua improvisasiku saja. Itu keputusanku.
Aku pernah mendengar sebuah kalimat lain dari sebuah film:
“Aku ni hidup bukan nak jadi istri saudagar, Pakci. Aku ni nak jadi guru.”
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar