Halaman

Rabu, 11 Desember 2013

Cahaya

Kemarin sore, sekitar pukul lima, ku kayuh sepeda unguku. Pedal dan kakiku bekerja sama dengan baik, begitu pula alunan lagu-lagu coldplay dan pure Saturday di telingaku. Kerja sama yang luar biasa  hingga mengeluarkan energi negatif bersama keringat yang kemudian segera menguap bersama angin sore, di kota kelahiran yang mulai kembali menumbuhkan rasa cintaku. Melewati pasar tradisional dengan aroma khas ikan-ikan segar, lalu senyum sederhana ibu-ibu penjual ikan dengan bedak dingin yang sudah membeku di wajahnya, membahagiakan.

Di sebelah kananku ada barisan bukit, dan di bawahnya juga berbaris rapih rumah-rumah warga. Di sebelah kiriku ada hamparan teluk dengan gelombang air yang sederhana, pelan-pelan mengayun lembut perahu-perahu nelayan yang berlabuh romantis di atasnya. Dan, di hadapanku ada lukisan The Sacred yang menawan, awan dan langit berwarna sore, yaa sedikit jingga kebiruan.

Sedikit mendung sore itu. commulus nimbus berhasil menyembunyikan bulat matahari, tetapi tidak cahayanya. Aku percaya bahwa cahaya memiliki kecepatan yang luar biasa. Mereka bisa menembus awan tebal dan menjadi sebuah bias warna yang menakjubkan. Dan pemandangan itu yang akhirnya merayu aku untuk segera berhenti mengayuh sepedaku. Bersyukurlah aku memiliki tanah kelahiran yang indah, di mana aku bisa dengan sederhana duduk di pinggir teluk dan menikmati sore tanpa suara bising klakson dan asap knalpot kendaraan yang bertumpuk.

Kembali, imajinasiku begitu menyenangkan, menyusun kata menjadi kalimat yang aku simpan dalam sebuah memori tentang awan gelap dan pelangi di atasnya. Iya, sore itu ada pelangi di atas awan mendung, dan bias cahaya kuning keemasan menembus sisi-sisi gelapnya.

Cahaya.. tidak ada yang bisa menghalanginya.. bahkan gelap sekalipun...

Mungkin matahari tiada oleh malam, tapi tidak cahayanya. Ia tetap terlihat melalui bintang. Mungkin bintang tidak terlihat oleh hujan. Iya, mereka memang tidak telihat, tetapi hanya sementara, hujan tidak mampu menghalangi selamanya. Cahaya, menakjubkan.

Aku berpikir bahwa, begitu cahaya memiliki kekuatan yang luar biasa, ia bahkan bisa membiaskan pelangi yang selalu damai di mata setiap kita. Aku akan menjadi sepertimu, cahaya...

Cahaya tak hidup untuk dirinya sendiri. Ia tak bersembunyi. Ia selalu berusaha menembus awan, menembus gelap. Itulah mengapa semua orang begitu bersyukur akan keberadaannya. Aku akan menjadi sepertimu, cahaya...

***

“Jadilah terang, bukan di tempat yang terang. Jadilah terang di tempat yang gelap”


Kamis, 05 Desember 2013

Decision

Dibulan keenam tahun 2013 ini, ibuku berulang tahun dan beliau memutuskan untuk mengadakan ibadah syukur sebagai wujud terimakasih kepada The Sacred. Dalam rangkaian khotbah pada ibadah syukur itu aku mengingat sebuah kalimat “hiduplah untuk melayani orang lain, jangan kiranya kamu hidup hanya untuk dirimu sendiri.”

...

Sudah hampir satu semester aku merayakan bebasnya masa rantau di tanah kelahiranku, Kota Kendari. Ku pikir akan mudah melewati cultural shock karena aku sudah banyak minum dari mata air tanah anoa ini. Nyatanya, sampai pukul 11:30 WITA dipenghujung November ini, emosiku masih beria-ria berteriak “Jakarta selalu punya banyak akses dan gue bisa lebih gampang maju kalau hidup di sana.”

Bersyukur hari ini aku melewati banyak jalan tikus, karena aku tidak mengenakan helm saat diboncengi teman siang tadi. Aku kemudian tahu, Kendari cukup menyenangkan. Aku hanya butuh membuka mata dan melihat ke setiap seluk. Kadang, kita memang butuh waktu untuk “melanggar aturan” dan lalu melewati “jalan-jalan tikus”. Ketika aku memilih untuk memakai pengaman kepala dan melewati jalan besar yang biasanya aku lewati, aku sudah tahu arahnya, dan sudah ku tau di sebelah kiri dan kanannya ada toko dan pedagang apa saja. Berbeda ketika aku memilih untuk sedikit melanggar aturan dan melewati jalan-jalan tikus, aku bisa menemukan beberapa pandangan baru di sana, seperti lapangan bola luas di atas bukit dan senja bisa begitu merona jika dinikmati dari atas sana. Atau sekedar melihat anak-anak kecil bermain gundu di pinggiran gang.

Begitu pula dengan aku. Tidak sedikit waktu ku habiskan bermain di “jalan-jalan tikus” dan “melanggar aturan” ketika aku menunaikan tugasku sebagai mahasiswa di Ibu Kota Negara. Ada begitu banyak hal dari “jalan-jalan tikus” yang membentuk isi kepalaku, sehingga membuatku jenuh dan bosan jika aku harus terus menerus melewati jalan utama. Tapi, kali ini aku menuntut diriku untuk lebih bijak. Emosi mudaku memang terlalu membara dan dengan angkuh berkata “aku bisa mencari jalanku sendiri! Aku tahu apa yang aku inginkan!” tanpa berpikir panjang dan tanpa berpikir tanggung jawab. Emosi mudaku terlalu berdiri tegak dan sombong mendangakan kepala sampai ketika aku mendengar sebuah kalimat “Kalau saya, saya mau hidup saya menghasilkan karya untuk orang lain...hidup itu tentang mengambil keputusan...” kurang lebih begitu...

Kalimat itu persis tertuju ke ubun-ubun kepalaku, lalu menjatuhkan keangkuhanku untuk memilih jalanku sendiri. Kalimat itu pula yang menghantar aku pada kalimat lainnya yang aku dengar di bulan ke enam tahun 2013 ini. Ada satu sel yang bekerja dengan penuh semangat membuka ruang di kepalaku dan mengijinkan aku untuk memasukan sebuah keputusan yang sudah seharusnya ku ambil saat ini.
“Hiduplah untuk melayani orang lain, janganlah kiranya kamu hidup untuk dirimu sendiri” menjadi sebuah kalimat yang aku tempel rapih di dinding ruangan baru di kepalaku. Ke sanalah aku menuju. Entah aku akan melewati jalan utama, lalu sedikit belok ke jalan tikus dan kemudian kembali ke jalan utama untuk tiba ke sana. Itu semua improvisasiku saja. Itu keputusanku.

Aku pernah mendengar sebuah kalimat lain dari sebuah film: “Aku ni hidup bukan nak jadi istri saudagar, Pakci. Aku ni nak jadi guru.”


---

Sabtu, 21 September 2013

senja. cita.

Seperti jingga senja kali ini, aku sedang tertunduk lemas, badanku panas, dan air mataku masih meretas pecah di pipi bagian atas. tiba-tiba saja warnamu menyapa "hai" dari balik pohon di tas bukit tepat di seberang balkon belakang rumahku.

aku begitu kegirangan dan bersukacita menyambut datangmu, tadinya ku pikir tak akan kau sapa aku sore ini karena awan begitu tebal, ternyata kamu memang senang membuat kejutan. dan kali ini aku benar-benar terkejut, indah sekali warnamu sore ini, seperti senja yang selalu aku rindukan, yang selalu ingin aku nikmati setiap hari, yang selama ini selalu terlewatkan olehku...

aku mendambamu senja, masih saja kamu berdiam cantik, anggun, dan indah diujung sana.

tapi sayang, perlahan warna emasmu mulai dilenyapkan malam. sebenarnya bukan malam...

aku tau, senja...
kamu tidak pernah benar-benar dilenyapkan malam. mungkin di belahan dunia timur jinggamu sudah menjadi hitam. tapi di bagian dunia sebelah barat, kamu masih bersinar, begitu juga dibagian barat lainnya, dan seterusnya, dan seterusnya...

kamu tidak akan pernah benar-benar lenyap, senja. kecuali hujan menghalangimu. kamu tak akan berdaya melawannya.

kamu tau maksudku? kamu sama seperti cita-cita, tidak pernah benar-benar lenyap, kecuali restu orang tua menghalangimu. dan kali ini aku sama sekali tidak punya daya melawannya.


Selasa, 30 April 2013

dry.


Aku pernah berjalan-jalan di sebuah taman kota. Banyak pohon rimbun dan sejuk di sana, namun salah satu pohon berdaun lebat dan berbunga merah jambu seolah memanggil-manggilku untuk duduk berteduh di bawahnya. Di sana ada sebuah bale yang terbuat dari bambu, “sejuk sekali” pikirku sembari berjalan mendekati pohon itu, lalu duduk menikmati angin dan tarian dedaunannya. sesaat setelahnya, seorang perempuan cantik berambut panjang menghampiriku. “sudah lamakah anda di sini?” sambil memegang sebuah alat penyiram tanaman yang terbuat dari aluminium berbentuk corong, matanya menatapku tajam. “belum lama, aku hanya menumpang untuk berteduh. Aku senang melihat bunga merah jambu pohon ini” aku bergegas berdiri sambil merapikan beberapa kertas yang kugunakan untuk menulis dan menggabar sang pohon.

Perempuan itu cantik sekali, rambutnya digerai panjang berwarna hitam dan lurus. Aku tak begitu paham mengapa perempuan itu menyorotku dengan tatapan tajam. Kuperhatikan gerak-geriknya saat menyirami pohon rimbun berbunga merah jambu itu dengan penuh cinta. Namun, sesaat setelahnya, ia melangkah jauh dan meninggalkan sang pohon. Aku pun demikian, berjalan  menjauh, meninggalkan taman kota dan pohon rimbun nan malang itu.

Kala itu kudengar ada badai, membuat satu per satu kelopak bunga dari pohon tersebut terhempas angin lalu jatuh ke tanah. Angin yang lebih kencang kemudian merontokkan daun-daun hijaunya. Terik matahari juga ikut mengeringkan ranting-rantingnya. Orang-orang bercerita bahwa pohon rimbun berbunga merah jambu kini menjadi kering. Tak ada lagi daun hijau yang meneduhkan, tak ada lagi kelopak-kelopak bunga merah jambu yang menghiasinya. Rantingnya rapuh, tak mampu lagi memberi sedikit saja rasa teduh. Tak lagi...

“Di mana perempuan itu?” bertanya aku dalam benak saat kembali ke taman kota. Rindu yang membawaku ke sana. Aku hanya ingin melihat, daun-daun hijau rimbun yang dulu membuatku duduk, menulis dan menggambar di bawahnya. Aku hanya rindu. Tak bermaksud untuk menyiram atau memberinya pupuk untuk kembali menumbuhkan daun-daun hijau dan kelopak-kelopak bunga merah jambunya. Sungguh, aku hanya rindu...

Rabu, 24 April 2013

BAB TIGA.

beberapa orang mungkin sudah mempersiapkan alur hidupnya seperti membuat skema untuk mengerjakan skripsi, mulai dari bab 1 memilih apa yang menjadi fokus, mencari konsep-konsep dan landasan dalam menjalani hidup, sampai melihat referensi-referensi dari pengalaman hidup orang lain. kemudian, lanjut ke bab 2, mulai belajar dari masa lalu, menunjukan profil dan eksistensi diri kepada sekitar, mungkin untuk mendapat pengakuan keberadaan, hehe. setelah itu melangkah ke bab yang lebih sulit, yang dalam pengerjaannya seringkali berubah-ubah, bab 3....

...bab 3 ini yang seringkali berjalan tidak sesuai rencana, karena ternyata apa yang ditemui dalam realitas seringkali jauh berbeda dengan asumsi sebelumnya. Ini yang membuat banyak hal berubah pada tahap bab 3, di rombak lagi, membuat rencana baru, salah lagi, buat lagi, sampai menemui titik yang tepat dan pas. jika boleh mengutip lirik dari lagu surrender yang dinyanyikan float, mungkin bab 3 ini bisa digambarkan seperti ini :
--- things wont be as easy as it often seems---
--- this i've never thought before---

gue merasa seperti sedang mengerjakan bab 3 saat ini, sama persis seperti mengerjakan bab 3 skripsi gue beberapa bulan yang lalu. ada banyak kenyataan yang tidak begitu sesuai dengan rencana sebelumnya. yang akhirnya harus gue belokan ke sana, lalu ke sini. dan yaaa things wont be as easy as it often seems emang... dan gue emang ngga berpikir dan menyiapkan diri untuk ini sebelumnya.

tapi, gue meyakini bahwa, sesusah-susahnya mengerjakan bab 3, gue pasti bisa selesaikan dengan baik. sama seperti menyelesaikan skripsi. ahahaha. sebuah analogi yang rada aneh sih. tapi ya suka-suka guelah yahhh :D

ketika bab3 ini selesai, gue akan melanjutkan ke tahap yang jauh lebih sulit...bab 4..dimana gue akan menemui berbagai hal yang akan gue jawab dengan prinsip (konsep) hidup gue. sampai ketika semua itu melewati tahapnya, finishing akan begitu indah di bab 5.

tapi tetep siiiihhh Things Wont Be As Easy As It Often Seems...

Kamis, 07 Februari 2013

Potongan Biskuit


Ada sisa-sisa biskuit di beberapa bagian kamar perempuan itu. Tidak ada yang tau motivasinya apa menyimpan sisa-sisa biskuit di dalam kamarnya, hanya dirinya sendiri.

Suatu malam ia terbangun, kakinya dikerumuni semut-semut merah yang kemudian menggigitnya serempak sampai kakinya bentol, lalu memerah, dan menjadi perih. Ia segera tersadar, “ohya, ada potongan biskuit di bawah kasur, sebaiknya ku buang supaya tak ada semut merah lagi”. Beranjaklah ia mengambil potongan biskuit itu lalu membuangnya.

Pagi harinya, ia terkejut ketika hendak memakai baju dari lemarinya. Semut-semut merah juga berkumpul di antara kerah bajunya, juga di bagian belakang dan di dalam saku. Ia segera tersadar, “ohya, ada potongan biskuit di dalam lemari. Sebaiknya ku buang supaya tak ada semut merah lagi”. Diambilnya potongan biskuit di bawah baju coklat dan hitam di dalam lemari lalu membuangnya.

Ketika potongan biskuit dalam lemari itu sudah dibuang, ia merapihkan buku-buku bacaan yang berantakan di bawah mejanya. Kembali ditemuinya semut-semut merah berkerumun di sana. Ya, masih ada potongan biskuit di sela-sela buku. Lembaran kertas tipis dalam buku itu sudah sedikit sobek digigiti semut-semut merah. “ohya, ada potongan biskuit di tumpukan buku ini. Sebaiknya ku buang. Sudah terlalu banyak semut merah di sini.” Katanya dalam hati. Diambilnya potongan biskuit di antara tumpukan buku lalu membuangnya.

Suatu malam perempuan itu kelaparan, ia tersadar bahwa di dalam toples merah samping rak buku ada beberapa cemilan bekal dari mamanya. Ia segera mengambil toples merah itu dan membukanya. Keningnya berkerut, matanya sedikit menyipit dan wajahnya berubah kesal. Ditemuinya kembali semut-semut merah di dalam toples itu dan menggerogoti semua makanan di dalamnya. Bersama rasa lapar Ia menangis, kesal sekali. “ah iya, di sini pernah ku simpan potongan biskuit itu, dan sekarang semua makananku justru dikerumuni semut-semut merah yang bukan hanya membuatku tidak bisa menyantap cemilan ini, tapi juga yang sudah merusak buku-buku bacaanku, mengeremuni baju-baju di lemariku, bahkan menggigiti kakiku ketika aku tidur. Untuk apa lagi aku menyimpan potongan-potongan biskuit ini? Hanya ada semut merah, tidak ada yang lain. Lebih baik ku ambil semua potongan-potongan biskuit itu, dan ku buang semuanya, agar kamarku kembali bersih dan nyaman.” Lalu segeralah ia mengumpulkan potongan-potongan biskuit yang tersisa, beberapa di dalam kardus sepatu, di balik koper, di selipan jendela, dan di bawah tumpukan helm. Beberapa lainnya ada di dalam tas tripod, di kantong jaket, dan diantara kabel-kabel di bawah rak televisi. Semua potongan-potongan itu dimasukkannya ke dalam toples merah, lalu ia berjalan keluar kamar menuju lapangan dan membuangnya.

sudah tidak ada potongan-potongan biskuit lagi di kamarku, semut-semut merah itu juga tidak akan ada lagi. Sudah kubersihkan, sudah kusingkirkan. Sudah tak bisa kurasakan renyahnya lagi, jadi untuk apa ku simpan?” Sambil membenahi kamar, perempuan itu berkata dalam hati. Senyumnya lalu merekah merasakan nyaman di dalam kamar tanpa potongan biskuit dan semut merah.

--
“Orang selalu menghasilkan sesuatu yang imajiner dalam cara ia berhubungan dengan dunia nyata.” – Louis Althuser (1918-1990)

Selasa, 05 Februari 2013

Pendidikan Yang Membebaskan di Komunitas Punk "Taring Babi"


“Belajar itu bebas, merdeka, keluar dari kenyamanan dan tidak bisa dibatasi oleh kotak-kotak kelas sosial, dan ruangan kelas formal. Belajar itu keluar, mengamati sekitar. Ibaratnya, untuk menuju suatu tempat, lo milih lewat jalan tol yang lu udah pasti tau pemandangan sekitarnya Cuma macet,  kendaraan numpuk dan taneman-taneman. Atau lo milih lewat jalan tikus dan lo akan melihat ibu-ibu jualan nasi uduk, anak kecil maen, bapak-bapak kerja bakti, dan lain-lain. Begitu juga soal belajar, lo milih belajar di sekolah formal yang lo udah tau harus make seragam, belajarnya itu-itu aja dari jaman bapak lo sekolah. Atau lo milih belajar mengamati alam raya dan lingkungan sekitar lo, dan lo bakal dapet banyak pengetahuan di luar buku-buku teks pelajaran yang itu-itu aja nggak berubah.” – Mike Marjinal

“Apa jo ngoni suka”  cukilan di atas kertas samson cokelat tertempel di dinding dapur sebuah rumah kontrakan komunitas punk “Taring babi”. Di rumah kontrakan dalam gang setia budi inilah, komunitas punk “Taring Babi” membangun keterampilan, kreatifitas, dan pola berpikir kritis bersama. Mereka selalu menekankan “belajar itu bebas, kita yang menentukan mau belajar apa, mau tau tentang hal apa, dan bagaimana caranya kita belajar”. Secara sadar atau tidak, sebenarnya mereka telah melakukan praktik pendidikan yang membebaskan (humanisasi pendidikan) versi Paulo Freire.

Paulo Freire, seorang Doktor dari Universitas Recife mencetuskan gagasan tentang pendidikan yang membebaskan setelah mengalami sebuah kondisi yang menurutnya menindas dia dan kaum-kaum miskin lainnya saat krisis ekonomi melanda Brasil pada tahun 1957. Pada masa itu, kaum kelas atas mendominasi dan mengeksploitasi kaum-kaum miskin yang memang tidak punya daya untuk melakukan resistensi. Hal yang sama kemudian terjadi dalam praktik pendidikan formal, ketika guru memiliki otoritas penuh di dalam kelas, siswa hanya menjadi bejana-bejana kosong yang tidak tahu apa-apa dan tidak punya hak untuk menanggapi materi yang disampaikan guru di dalam kelas. Praktik pendidikan seperti ini yang melatar belakangi gagasan Freire mengenai pendidikan yang membebaskan. Pendidikan yang membebaskan menurut Freire adalah pendidikan yang membawa pembelajar mengenali fenomena dan isu-isu sosial di sekitarnya. Proses pembelajaran berlangsung dialogis di mana ada interaksi dua arah antarsubjek pembelajar. Pada akhirnya, pembelajar mampu memiliki kesadaran kritis untuk membebaskan diri dari berbagai bentuk penindasan.
Komunitas punk “Taring Babi” secara tersirat mempraktikan prinsip-prinsip pendidikan yang membebaskan. Di rumah kontrakan dengan tembok dipenuhi gambar hasil cukilan itulah mereka belajar. Tidak ada proses pembelajaran formal dan sebutan guru dan siswa di sana, tapi mereka selalu belajar untuk menjadi manusia-manusia yang bebas sebagaimana hakikat manusia pada dasarnya. Mereka bebas belajar apa saja yang mereka mau, termasuk bagaimana cara mereka mempelajari sesuatu. Anak-anak punk yang selama ini mendapat stereotype negatif di mata masyarakat awam melakukan pembuktian melalui karya-karya yang dihasilkan dari proses belajar yang membebaskan di komunitas Taring Babi.

Cukil, sablon, musik, daur ulang limbah plastik, ideologi-ideologi punk, dan filosofi hidup mereka pelajari bersama-sama. Tidak ada aturan formal dan tidak ada buku panduan, mereka mengembangkan potensi diri bersama-sama, saling berdialog satu sama lain, dan saling mendukung untuk berkarya. Karya merupakan wujud pembuktian anti kemapaman yang mereka tunjukan kepada masyarakat. Pembuktian tersebut menjadi cara mereka untuk menyuarakan kebebasan berekspresi, kebebasan dalam belajar, menekankan bahwa meskipun mereka tidak belajar di sekolah-sekolah formal, tetapi mereka bisa menghasilkan karya dengan kreatifitas yang mereka punya. Kreatifitas itulah yang membebaskan mereka dari berbagai bentuk penindasan yang terjadi dalam kehidupan sosial. Penindasan dalam dunia kerja misalnya, ketika orang-orang terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka dituntut untuk melakukan apa saja permintaan atasan mereka tanpa memiliki daya apapun untuk bersuara dan melawan. Komunitas punk Taring Babi justru mengasah keterampilan, kreatifitas, dan kemerdekaan berpikir mereka sebagai senjata untuk menghadapi tantangan dan penindasan tersebut.

Selalu ada dialog antaranak punk yang tinggal di sana, setiap hari mereka belajar dan berdiskusi sembari bernyanyi bersama. Apa saja bisa dibicarakan, mulai dari isu-isu sosial yang sedang panas, politik, musik, ideologi punk, dan lain sebagainya. Dialog ini menjadi salah satu cara pembentukan kesadaran kritis dan analisa kritis dalam melihat fenomena sosial yang terjadi.

Itulah wujud kongkrit dari pendidikan yang membebaskan. Tidak ada aturan formal dan tidak ada dominasi. Semua orang berhak untuk belajar, untuk membebaskan diri dari penindasan yang terjadi dalam realitas sosial. Kemerdekaan untuk belajar yang membuat membentuk mereka untuk berpikir kritis, melihat dan melawan dominasi yang merajalela dengan karya dan kreatifitas.

 “Dulu, sebelum saya kenal sama anak-anak sini, saya kaya karyawan biasa yang lain, yang ditakut-takutin bos sama aturan-aturannya. Setelah saya kesini dan belajar sama temen-temen di sini, sekarang saya sudah bisa memiliki kepercayaan diri, karena saya sadar dan saya tau kalo saya tuh punya kemampuan dalam diri saya. Kalo bos udah ngomong “Kalo lu nggak ikutin aturan gue, gue pecat lu”  saya udah nggak takut, karena kalopun saya dipecat saya masih punya keterampilan kok, jadi saya ngga bakal mati kalo saya ngga kerja. Akhirnya sekarang saya masih bisa kerja kok, meskipun penampilan saya punk gini, rambut mohawk, itu udah nggak jadi masalah.” – Sinyo


Senin, 28 Januari 2013

Jarang-jarang, men!!!

Liburan awal tahun ini, gue, kubak, jo, dan kornel secara dadakan memutuskan untuk ke Pulau Pramuka. tadinya, kita mau ke pulau pari, ikutan sama rombongan Indi, temen sekelas gue. tapi, karena kondisi saat itu sedikit ribet, dan kita hampir nggak dapet kapal karena berangkat siang dari muara angke. akhirnya, kita memutuskan untuk ke pulau pramuka aja. dan inilah jadinya................