“Belajar itu bebas,
merdeka, keluar dari kenyamanan dan tidak bisa dibatasi oleh kotak-kotak kelas
sosial, dan ruangan kelas formal. Belajar itu keluar, mengamati sekitar.
Ibaratnya, untuk menuju suatu tempat, lo milih lewat jalan tol yang lu udah
pasti tau pemandangan sekitarnya Cuma macet,
kendaraan numpuk dan taneman-taneman. Atau lo milih lewat jalan tikus
dan lo akan melihat ibu-ibu jualan nasi uduk, anak kecil maen, bapak-bapak
kerja bakti, dan lain-lain. Begitu juga soal belajar, lo milih belajar di
sekolah formal yang lo udah tau harus make seragam, belajarnya itu-itu aja dari
jaman bapak lo sekolah. Atau lo milih belajar mengamati alam raya dan
lingkungan sekitar lo, dan lo bakal dapet banyak pengetahuan di luar buku-buku
teks pelajaran yang itu-itu aja nggak berubah.” – Mike Marjinal
“Apa jo ngoni suka” cukilan di atas kertas
samson cokelat tertempel di dinding dapur sebuah rumah kontrakan komunitas punk
“Taring babi”. Di rumah kontrakan dalam gang setia budi inilah, komunitas punk
“Taring Babi” membangun keterampilan, kreatifitas, dan pola berpikir kritis
bersama. Mereka selalu menekankan “belajar itu bebas, kita yang menentukan mau
belajar apa, mau tau tentang hal apa, dan bagaimana caranya kita belajar”.
Secara sadar atau tidak, sebenarnya mereka telah melakukan praktik pendidikan
yang membebaskan (humanisasi pendidikan) versi Paulo Freire.
Paulo Freire, seorang Doktor dari Universitas Recife
mencetuskan gagasan tentang pendidikan yang membebaskan setelah mengalami
sebuah kondisi yang menurutnya menindas dia dan kaum-kaum miskin lainnya saat
krisis ekonomi melanda Brasil pada tahun 1957. Pada masa itu, kaum kelas atas
mendominasi dan mengeksploitasi kaum-kaum miskin yang memang tidak punya daya
untuk melakukan resistensi. Hal yang sama kemudian terjadi dalam praktik
pendidikan formal, ketika guru memiliki otoritas penuh di dalam kelas, siswa
hanya menjadi bejana-bejana kosong yang tidak tahu apa-apa dan tidak punya hak
untuk menanggapi materi yang disampaikan guru di dalam kelas. Praktik
pendidikan seperti ini yang melatar belakangi gagasan Freire mengenai
pendidikan yang membebaskan. Pendidikan yang membebaskan menurut Freire adalah
pendidikan yang membawa pembelajar mengenali fenomena dan isu-isu sosial di
sekitarnya. Proses pembelajaran berlangsung dialogis di mana ada interaksi dua
arah antarsubjek pembelajar. Pada akhirnya, pembelajar mampu memiliki kesadaran
kritis untuk membebaskan diri dari berbagai bentuk penindasan.
Komunitas punk “Taring Babi” secara tersirat mempraktikan
prinsip-prinsip pendidikan yang membebaskan. Di rumah kontrakan dengan tembok
dipenuhi gambar hasil cukilan itulah mereka belajar. Tidak ada proses
pembelajaran formal dan sebutan guru dan siswa di sana, tapi mereka selalu
belajar untuk menjadi manusia-manusia yang bebas sebagaimana hakikat manusia
pada dasarnya. Mereka bebas belajar apa saja yang mereka mau, termasuk
bagaimana cara mereka mempelajari sesuatu. Anak-anak punk yang selama ini
mendapat stereotype negatif di mata masyarakat awam melakukan pembuktian
melalui karya-karya yang dihasilkan dari proses belajar yang membebaskan di
komunitas Taring Babi.
Cukil, sablon, musik, daur ulang limbah plastik,
ideologi-ideologi punk, dan filosofi hidup mereka pelajari bersama-sama. Tidak ada
aturan formal dan tidak ada buku panduan, mereka mengembangkan potensi diri
bersama-sama, saling berdialog satu sama lain, dan saling mendukung untuk
berkarya. Karya merupakan wujud pembuktian anti kemapaman yang mereka tunjukan
kepada masyarakat. Pembuktian tersebut menjadi cara mereka untuk menyuarakan
kebebasan berekspresi, kebebasan dalam belajar, menekankan bahwa meskipun
mereka tidak belajar di sekolah-sekolah formal, tetapi mereka bisa menghasilkan
karya dengan kreatifitas yang mereka punya. Kreatifitas itulah yang membebaskan
mereka dari berbagai bentuk penindasan yang terjadi dalam kehidupan sosial. Penindasan
dalam dunia kerja misalnya, ketika orang-orang terpaksa bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup, mereka dituntut untuk melakukan apa saja permintaan atasan
mereka tanpa memiliki daya apapun untuk bersuara dan melawan. Komunitas punk
Taring Babi justru mengasah keterampilan, kreatifitas, dan kemerdekaan berpikir
mereka sebagai senjata untuk menghadapi tantangan dan penindasan tersebut.
Selalu ada dialog antaranak punk yang tinggal di sana,
setiap hari mereka belajar dan berdiskusi sembari bernyanyi bersama. Apa saja
bisa dibicarakan, mulai dari isu-isu sosial yang sedang panas, politik, musik,
ideologi punk, dan lain sebagainya. Dialog ini menjadi salah satu cara
pembentukan kesadaran kritis dan analisa kritis dalam melihat fenomena sosial
yang terjadi.
Itulah wujud kongkrit dari pendidikan yang membebaskan. Tidak
ada aturan formal dan tidak ada dominasi. Semua orang berhak untuk belajar,
untuk membebaskan diri dari penindasan yang terjadi dalam realitas sosial.
Kemerdekaan untuk belajar yang membuat membentuk mereka untuk berpikir kritis,
melihat dan melawan dominasi yang merajalela dengan karya dan kreatifitas.
“Dulu, sebelum saya kenal sama
anak-anak sini, saya kaya karyawan biasa yang lain, yang ditakut-takutin bos
sama aturan-aturannya. Setelah saya kesini dan belajar sama temen-temen di sini,
sekarang saya sudah bisa memiliki kepercayaan diri, karena saya sadar dan saya
tau kalo saya tuh punya kemampuan dalam diri saya. Kalo bos udah ngomong “Kalo
lu nggak ikutin aturan gue, gue pecat lu” saya udah nggak takut, karena kalopun saya
dipecat saya masih punya keterampilan kok, jadi saya ngga bakal mati kalo saya
ngga kerja. Akhirnya sekarang saya masih bisa kerja kok, meskipun penampilan
saya punk gini, rambut mohawk, itu udah nggak jadi masalah.” – Sinyo