"Perbedaan bukan kesalahan, bukan sebuah kebodohan, bukan pula kenistaan. Perbedaan hanya masalah keyakinan, keyakinan bahwa perbedaanpun ciptaan Tuhan, ciptaan Tuhan untuk menghasilkan Keindahan, Keutuhan, dan Kesatuan."
Masih pukul 3.00 tapi cahaya matahari semakin berkurang, langit sudah berwarna abu-abu rupanya. Masa aksi damai ini masih berkumpul pada satu titik hampir di depan Istana Negara, sekaligus di halaman depan Tugu Monas. Setelah mengambil beberapa gambar barulah saya tahu, aksi ini adalah aksi dari gerakan #BedaIsMe yang berdiri tepat pada hari jadi Pancasila, 1 Juni silam.
Seorang pendeta perwakilan dari Aceh Singkil berdiri di depan masa, wajahnya seperti melukiskan haru dengan sedikit kerutan di dahinya, di belakangnya berdiri pula beberapa polisi yang sedang memainkan perannya untuk mengamankan jalannya aksi. satu kalimat yang diucapkan oleh Pendeta tersebut yang masih menempel di sel-sel kepala saya: "Katanya negara ini sudah merdeka, tapi masih banyak gereja-gereja yang di segel, masih ada pelarangan ibadah. Sesungguhnya, kami bisa merdeka ketika kami diberikan kebebesan untuk beribadah"
Tidak lama kemudian sesuatu yang menarik tersaji di depan mata saya. Sekelompok remaja mengenakan peci dan kerudung berkumpul membawa rebana mereka masing-masing. Rupanya mereka adalah remaja marawis dari Tanah Abang yang turut berpartisipasi dalam aksi #BedaIsMe ini. Mereka memainkan rebana, gendang, dan gemercing dengan semangat dan terlihat penuh penghayatan. Sebuah toleransi dimana tak ada satu angkapun yang mampu membayarnya.
Atmosfer aksi damai #BedaIsMe ini kemudian menjadi semakin merasuk dan memenuhi kepala saya. Saya sempat bertanya pada seorang Bapak yang memegang papan bertuliskan "Buka Segel Gereja Kami". Beliau sudah tiba di depan Istana sejak pukul 11 siang, hendak mengikuti ibadah gabungan bersama jemaat GKI Yasmin, HKBP Filadelphia, Jemaat dari Aceh Singkil, dan lain sebagainya. Ibadah ini juga dihadiri oleh jemaat Islam, Ahmadiyah, juga Hindu. Mata saya menerawang ke sekitar, ketika suara nyanyian "Alusia" khas batak terdengar begitu merdu. Seorang Bapak menggunakan peci dan ulos berdiri tepat di samping penyanyi berdarah Batak yang menyenandungkan "alusia". Bapak berpeci dan berulos itu kemudian menari tortor dengan asiknya, masa kemudian ikut bernyanyi, berdiri dan menari bersama.
Ada sebuah spanduk bergambarkan beberapa anak kecil yang sedang berkumpul, mungkin mereka sedang "sekolah minggu", di sebelahnya ada tulisan, terdiri dari beberapa paragraf yang intinya ditujukan kepada Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, semacam surat untuk menyampaikan suara dari nurani mereka menuntut kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan. Di tengah-tengah spanduk juga ada beberapa testimoni yang dibuat oleh anak-anak, mereka menggambar, menulis pesan untuk teman-teman mereka yang merasakan sulitnya beribadah karena gereja mereka di segel oleh pihak-pihak yang mengatasanamakan agama.
"kayaknya cukup motretnya, batere kamera tinggal dua, heeh" gumam saya dalam hati sambil memasukan kembali kamera ke dalam tasnya. Saya kemudian mencari tempat untuk duduk, memesan kopi, membaca selembar kertas yang diberikan panitia, dan berpikir.
"ini yang selalu saya perdebatkan dalam kepala saya, tentang sebuah perbedaan. bukannya warna diciptakanNya beragam? bukan hanya hitam, bukan hanya putih, bukan hanya biru atau bukan hanya ungu? lalu kenapa perberdaan itu harus diseragamkan? bukannya setiap kita punya hak menentukan pilihan kita sendiri? dan orang lain tidak berhak memaksakan pilihannya untuk kita ikuti?
orang tua saya berbeda. mereka hidup dalam satu atap sampai detik ini. bapak saya Islam, dan mama saya Kristen Protestan. kakak-kakak sayapun Islam, dan saya sendiri Kristen. lalu kenapa? apa ada masalah dengan itu? apa Bapak saya memaksa mama saya untuk masuk Islam? Tidak. Apakah mama saya memaksa Bapak saya untuk masuk Kristen? Tidak juga. Mereka harmonis, beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Lalu kapan negara bisa menjadi seperti mereka?
Berbeda bukan berarti salah, bukan? Berbeda bukan berarti membuat kerusuhan, bukan? Warna-warna yang berbeda jika disatukanpun akan menjadi lukisan indah dan tidak membosankan. kain tenun dengan warna yang berbeda-bedapun akan menjadi kain yang unik. Begitupula dengan keberagaman, baik agama, suku, keyakinan, gender, bukankah yang menciptakan semua ini adalah DIA? lalu kenapa manusia yang merasa dirinya paling benar harus merusak setiap helai kain tenun karyaNya? lalu kenapa warna-warna ciptaanNya harus dijadikan seragam?
Pancasila, menegaskan tentang "persatuan" sejak orang tua saya duduk di bangku sekolah dasar, bahkan mungkin jauh sebelum itu. Pancasila juga menegaskan tentang "keadilan". Tapi, sepertinya dasar negara ini sudah mulai dilupakan, jika bisa menangis mungkin burung Garuda sebagai simbol pancasila akan menangis. Sayapnya dilemahkan dan dicabut-cabuti oleh anak-anaknya sendiri yang mengaku mencintainya dan membenarkannya. Kekerasan-kekerasan atas nama agama membuatnya melemah, tidak dapat terbang tinggi lagi.
#BedaIsMe, baru pertama kali terdengar di telinga saya, tapi setiap suara-suara kecil dalam kepala saya bersuara setuju. mengitup lirik lagu yang dinyanyikan oleh Tere, "tiada yang salah dengan perbedaan, yang salah hanyalah sudut pandang kita, yang membuat kita berbeda". Ya, sudut pandang yang sempit, yang tidak menghargai keragaman, yang tidak menikmati indahnya perbedaan. Perbedaan bukan kesalahan, bukan sebuah kebodohan, bukan pula kenistaan, perbedaan hanya masalah keyakinan, keyakinan bahwa perbedaanpun ciptaan Tuhan, ciptaan Tuhan untuk menghasilkan Keindahan, Keutuhan, dan Kesatuan.
Angin sore Jakarta dan suara klakson kendaraan yang sahut-sahutan membuyarkan pembicaraan saya dengan diri sendiri. Jalanan sudah dipenuhi kendaraan roda dua maupun roda empat. Sore itu mempertemukan saya dengan seorang senior, Galih Prasetyo yang juga hadir dalam aksi damai #BedaIsMe. Kami berdua kemudian duduk sambil menikmati segelas kopi. Membicarakan beberapa hal tentang aksi ini, tentang FPI, dan rencana untuk menikmati Film dan Musik dari Marjinal di Taman Ismail Marzuki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar