Ada sisa-sisa biskuit di beberapa bagian kamar perempuan
itu. Tidak ada yang tau motivasinya apa menyimpan sisa-sisa biskuit di dalam
kamarnya, hanya dirinya sendiri.
Suatu malam ia terbangun, kakinya dikerumuni semut-semut merah
yang kemudian menggigitnya serempak sampai kakinya bentol, lalu memerah, dan
menjadi perih. Ia segera tersadar, “ohya,
ada potongan biskuit di bawah kasur, sebaiknya ku buang supaya tak ada semut
merah lagi”. Beranjaklah ia mengambil potongan biskuit itu lalu
membuangnya.
Pagi harinya, ia terkejut ketika hendak memakai baju dari
lemarinya. Semut-semut merah juga berkumpul di antara kerah bajunya, juga di
bagian belakang dan di dalam saku. Ia segera tersadar, “ohya, ada potongan biskuit di dalam lemari. Sebaiknya ku buang supaya
tak ada semut merah lagi”. Diambilnya potongan biskuit di bawah baju coklat
dan hitam di dalam lemari lalu membuangnya.
Ketika potongan biskuit dalam lemari itu sudah dibuang, ia
merapihkan buku-buku bacaan yang berantakan di bawah mejanya. Kembali
ditemuinya semut-semut merah berkerumun di sana. Ya, masih ada potongan biskuit
di sela-sela buku. Lembaran kertas tipis dalam buku itu sudah sedikit sobek
digigiti semut-semut merah. “ohya, ada
potongan biskuit di tumpukan buku ini. Sebaiknya ku buang. Sudah terlalu banyak
semut merah di sini.” Katanya dalam hati. Diambilnya potongan biskuit di antara
tumpukan buku lalu membuangnya.
Suatu malam perempuan itu kelaparan, ia tersadar bahwa di
dalam toples merah samping rak buku ada beberapa cemilan bekal dari mamanya. Ia
segera mengambil toples merah itu dan membukanya. Keningnya berkerut, matanya
sedikit menyipit dan wajahnya berubah kesal. Ditemuinya kembali semut-semut
merah di dalam toples itu dan menggerogoti semua makanan di dalamnya. Bersama
rasa lapar Ia menangis, kesal sekali. “ah
iya, di sini pernah ku simpan potongan biskuit itu, dan sekarang semua
makananku justru dikerumuni semut-semut merah yang bukan hanya membuatku tidak
bisa menyantap cemilan ini, tapi juga yang sudah merusak buku-buku bacaanku,
mengeremuni baju-baju di lemariku, bahkan menggigiti kakiku ketika aku tidur.
Untuk apa lagi aku menyimpan potongan-potongan biskuit ini? Hanya ada semut
merah, tidak ada yang lain. Lebih baik ku ambil semua potongan-potongan biskuit
itu, dan ku buang semuanya, agar kamarku kembali bersih dan nyaman.” Lalu
segeralah ia mengumpulkan potongan-potongan biskuit yang tersisa, beberapa di
dalam kardus sepatu, di balik koper, di selipan jendela, dan di bawah tumpukan
helm. Beberapa lainnya ada di dalam tas tripod, di kantong jaket, dan diantara
kabel-kabel di bawah rak televisi. Semua potongan-potongan itu dimasukkannya ke
dalam toples merah, lalu ia berjalan keluar kamar menuju lapangan dan
membuangnya.
“sudah tidak ada
potongan-potongan biskuit lagi di kamarku, semut-semut merah itu juga tidak
akan ada lagi. Sudah kubersihkan, sudah kusingkirkan. Sudah tak bisa kurasakan
renyahnya lagi, jadi untuk apa ku simpan?” Sambil membenahi kamar,
perempuan itu berkata dalam hati. Senyumnya lalu merekah merasakan nyaman di
dalam kamar tanpa potongan biskuit dan semut merah.
--
“Orang selalu menghasilkan sesuatu yang imajiner dalam cara
ia berhubungan dengan dunia nyata.” – Louis Althuser (1918-1990)