Halaman

Minggu, 10 Juni 2012

#BedaIsMe: Aku Cinta Indonesia

"Perbedaan bukan kesalahan, bukan sebuah kebodohan, bukan pula kenistaan. Perbedaan hanya masalah keyakinan, keyakinan bahwa perbedaanpun ciptaan Tuhan, ciptaan Tuhan untuk menghasilkan Keindahan, Keutuhan, dan Kesatuan."


Sekitar pukul 2.40 saya memutuskan untuk menghentikan ojek yang saya tumpangi dari daerah Paser Baroe tepat di depan sekumpulan orang yang sedang melakukan aksi. Rasa penasaran kemudian menjadi lebih besar ketika melihat sebuah papan bertuliskan "Buka Segel Gereja Kami". "wah, GKI Yasmin nih kayaknya" pikir saya dalam hati sambil berjalan mendekati masa dan segera mengeluarkan kamera dari dalam tas.


Masih pukul 3.00 tapi cahaya matahari semakin berkurang, langit sudah berwarna abu-abu rupanya. Masa aksi damai ini  masih berkumpul pada satu titik hampir di depan Istana Negara, sekaligus di halaman depan Tugu Monas. Setelah mengambil beberapa gambar barulah saya tahu, aksi ini adalah aksi dari gerakan #BedaIsMe yang berdiri tepat pada hari jadi Pancasila, 1 Juni silam.


Seorang pendeta perwakilan dari Aceh Singkil berdiri di depan masa, wajahnya seperti melukiskan haru dengan sedikit kerutan di dahinya, di belakangnya berdiri pula beberapa polisi yang sedang memainkan perannya untuk mengamankan jalannya aksi. satu kalimat yang diucapkan oleh Pendeta tersebut yang masih menempel di sel-sel kepala saya: "Katanya negara ini sudah merdeka, tapi masih banyak gereja-gereja yang di segel, masih ada pelarangan ibadah. Sesungguhnya, kami bisa merdeka ketika kami diberikan kebebesan untuk beribadah"


Tidak lama kemudian sesuatu yang menarik tersaji di depan mata saya. Sekelompok remaja mengenakan peci dan kerudung berkumpul membawa rebana mereka masing-masing. Rupanya mereka adalah remaja marawis dari Tanah Abang yang turut berpartisipasi dalam aksi #BedaIsMe ini. Mereka memainkan rebana, gendang, dan gemercing dengan semangat dan terlihat penuh penghayatan. Sebuah toleransi dimana tak ada satu angkapun yang mampu membayarnya.


Atmosfer aksi damai #BedaIsMe ini kemudian menjadi semakin merasuk dan memenuhi kepala saya. Saya sempat bertanya pada seorang Bapak yang memegang papan bertuliskan "Buka Segel Gereja Kami". Beliau sudah tiba di depan Istana sejak pukul 11 siang, hendak mengikuti ibadah gabungan bersama jemaat GKI Yasmin, HKBP Filadelphia, Jemaat dari Aceh Singkil, dan lain sebagainya. Ibadah ini juga dihadiri oleh jemaat Islam, Ahmadiyah, juga Hindu. Mata saya menerawang ke sekitar, ketika suara nyanyian "Alusia" khas batak terdengar begitu merdu. Seorang Bapak menggunakan peci dan ulos berdiri tepat di samping penyanyi berdarah Batak yang menyenandungkan "alusia". Bapak berpeci dan berulos itu kemudian menari tortor dengan asiknya, masa kemudian ikut bernyanyi, berdiri dan menari bersama.


Ada sebuah spanduk bergambarkan beberapa anak kecil yang sedang berkumpul, mungkin mereka sedang "sekolah minggu", di sebelahnya ada tulisan, terdiri dari beberapa paragraf yang intinya ditujukan kepada Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, semacam surat untuk menyampaikan suara dari nurani mereka menuntut kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan. Di tengah-tengah spanduk juga ada beberapa testimoni yang dibuat oleh anak-anak, mereka menggambar, menulis pesan untuk teman-teman mereka yang merasakan sulitnya beribadah karena gereja mereka di segel oleh pihak-pihak yang mengatasanamakan agama.


"kayaknya cukup motretnya, batere kamera tinggal dua, heeh" gumam saya dalam hati sambil memasukan kembali kamera ke dalam tasnya. Saya kemudian mencari tempat untuk duduk, memesan kopi, membaca selembar kertas yang diberikan panitia, dan berpikir.


"ini yang selalu saya perdebatkan dalam kepala saya, tentang sebuah perbedaan. bukannya warna diciptakanNya beragam? bukan hanya hitam, bukan hanya putih, bukan hanya biru atau bukan hanya ungu? lalu kenapa perberdaan itu harus diseragamkan? bukannya setiap kita punya hak menentukan pilihan kita sendiri? dan orang lain tidak berhak memaksakan pilihannya untuk kita ikuti?


orang tua saya berbeda. mereka hidup dalam satu atap sampai detik ini. bapak saya Islam, dan mama saya Kristen Protestan. kakak-kakak sayapun Islam, dan saya sendiri Kristen. lalu kenapa? apa ada masalah dengan itu? apa Bapak saya memaksa mama saya untuk masuk Islam? Tidak. Apakah mama saya memaksa Bapak saya untuk masuk Kristen? Tidak juga. Mereka harmonis, beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Lalu kapan negara bisa menjadi seperti mereka?


Berbeda bukan berarti salah, bukan? Berbeda bukan berarti membuat kerusuhan, bukan? Warna-warna yang berbeda jika disatukanpun akan menjadi lukisan indah dan tidak membosankan. kain tenun dengan warna yang berbeda-bedapun akan menjadi kain yang unik. Begitupula dengan keberagaman, baik agama, suku, keyakinan, gender, bukankah yang menciptakan semua ini adalah DIA? lalu kenapa manusia yang merasa dirinya paling benar harus merusak setiap helai kain tenun karyaNya? lalu kenapa warna-warna ciptaanNya harus dijadikan seragam?


Pancasila, menegaskan tentang "persatuan" sejak orang tua saya duduk di bangku sekolah dasar, bahkan mungkin jauh sebelum itu. Pancasila juga menegaskan tentang "keadilan". Tapi, sepertinya dasar negara ini sudah mulai dilupakan, jika bisa menangis mungkin burung Garuda sebagai simbol pancasila akan menangis. Sayapnya dilemahkan dan dicabut-cabuti oleh anak-anaknya sendiri yang mengaku mencintainya dan membenarkannya. Kekerasan-kekerasan atas nama agama membuatnya  melemah, tidak dapat terbang tinggi lagi.


#BedaIsMe, baru pertama kali terdengar di telinga saya, tapi setiap suara-suara kecil dalam kepala saya bersuara setuju. mengitup lirik lagu yang dinyanyikan oleh Tere, "tiada yang salah dengan perbedaan, yang salah hanyalah sudut pandang kita, yang membuat kita berbeda". Ya, sudut pandang yang sempit, yang tidak menghargai keragaman, yang tidak menikmati indahnya perbedaan. Perbedaan bukan kesalahan, bukan sebuah kebodohan, bukan pula kenistaan, perbedaan hanya masalah keyakinan, keyakinan bahwa perbedaanpun ciptaan Tuhan, ciptaan Tuhan untuk menghasilkan Keindahan, Keutuhan, dan Kesatuan.


Angin sore Jakarta dan suara klakson kendaraan yang sahut-sahutan membuyarkan pembicaraan saya dengan diri sendiri. Jalanan sudah dipenuhi kendaraan roda dua maupun roda empat. Sore itu mempertemukan saya dengan seorang senior, Galih Prasetyo yang juga hadir dalam aksi damai #BedaIsMe. Kami berdua kemudian duduk sambil menikmati segelas kopi. Membicarakan beberapa hal tentang aksi ini, tentang FPI, dan rencana untuk menikmati Film dan Musik dari Marjinal di Taman Ismail Marzuki.

Jumat, 08 Juni 2012

Lampu dan Titik-titik Hujan

Bahkan cahaya lampu dan hujan pun dapat memberi saya pelajaran. Pelajaran untuk menentukan pilihan, dan menikmati kebebasan, yang pada akhirnya mampu memberi keindahan dan kesejukan.


source: www.weheartit.com

suara hujan di balik jendela tersamar oleh beberapa lagu random yang terputar di playlist saya. saya sedang menghadap ke arah jendela, memperhatikan sebuah lampu yang berjarak kurang lebih 10 meter dari tempat saya duduk. Ada titik-titik hujan diantara bias cahayanya. Kemudian saya melihat titik-titik air itu jatuh menyapa kabel hitam besar, berkumpul beberapa menit di sana, lalu kemudian jatuh menyentuh tanah. Saya sedang bermain bersama imajinasi saya saat itu, membebaskan suara-suara kecil bergema terus-menerus dalam kepala saya.

"mungkin saja lampu itu memilih berada di jarak 10 meter dari saya, di tengah-tengah daun pohon mangga supaya bias cahayanya bisa terpantul dari daun yang basah seperti cermin, dan pada akhirnya menciptakan rona kuning kehijau-hijauan yang indah"

"mungkin saja, titik-titik air hujan ini memilih untuk perlahan-lahan jatuh dari awan, menyapa kabel hitam dan berkumpul lalu akhirnya bertemu dengan tanah sebagai cara terbaiknya menciptakan sejuk dan romantisme tersendiri untuk orang-orang yang suka menikmatinya"

Ya, suara-suara kecil berbicara tentang pilihan, entah itu pilihan si lampu atau pilihan si titik-titik hujan. Mereka punya caranya sendiri untuk menciptakan keindahan dan kesejukan. Mereka bebas. Saya kemudian berpikir, saya pun punya cara saya sendiri, ketika saya menyadari bahwa kebebesan untuk menjadi diri sendiri memang tidak dapat dibeli, tetapi di pilih. Saya punya cara saya sendiri untuk menciptakan rona cahaya dalam jalan hidup saya sendiri.

Anggap saja saya lampu, saya telah memilih posisi saya, berada di kerumunan daun hijau agar ketika saya menyala, bias cahaya saya akan memantul pada daun, lalu menghasilkan rona hijau dan kuning. Lalu anggap saja saya titik air hujan, yang rela melepaskan diri dari awan untuk jatuh menyapa kabel hitam, berkumpul di sana, dan pada akhirnya bertemu tanah dan menghasilkan wangi hujan.

Saya sedang belajar, belajar untuk menghargai pilihan. Saya sedang belajar, belajar untuk menikmati pilihan saya menjadi bebas, bebas menjadi seorang saya. Saya sedang belajar, belajar untuk menghargai pilihan orang lain, dengan tidak memaksakan pilihan saya kepada mereka,  karena saya tidak punya hak untuk itu. 

titik-titik hujan tadi sekarang sudah hilang, mungkin itu pilihannya setelah beberapa jam setia menemani saya dan bermain-main dengan imajinasi saya. lampu itu masih menyala di sana, mungkin itu pilihannya untuk menemani saya sampai pagi nanti. saya juga masih di sofa ini, dan saya memilih untuk berada pada posisi ini untuk menikmati malam, sejuk dan wangi hujan, cahaya hijau dan kuning dari daun-daun yang basah, dan menikmati satu perasaan manusiawi.

Saya memilih ini, saya menikmati ini.

Kamis, 07 Juni 2012

Kembali ke Jakarta

suatu hari nanti, akan gue temukan bayangan gue di sebuah sisi, sisi kehidupan yang memberi banyak kisah dan kasih, juga pelajaran yang luar biasa dalam sanubari. berjuta terima kasih, untuk semua sahabat yang gue cintai, sampai bertemu di lain hari :)



akhirnya hari ini tiba, hari di mana gue harus kembali menemui kenyataan dan kemacetan Jakarta. di pesawat gue duduk terpisah 1 seat dari Jond. setiap bayangan dan cerita yang sudah ada dalam folder khusus di sel otak gue sudah gue hapus, tapi sepertinya mereka masih ada di recycle bin. sengaja.


pulau bali seolah melambaikan tangannya siang itu. seperti setiap moment yang gue tinggalkan di pelabuhan Lembar. asa dan harap sudah gue tanam di pasir gili trawangan. kenangan sudah gue tempelkan di dinding rumah puji. dan cerita tentangnya sudah gue simpan dalam satu kotak kecil dan gue hanyutkan di pelabuhan Bangsal, berharap bisa gue temukan kembali ketika suatu hari nanti gue kembali ke sana.


di Jakarta semuanya harus menjadi baru, harus menemukan kegiatan baru, minat baru yang harus terus gue kembangkan, dan tulisan baru tentang skripsi dan masa depan.


berjuta terimakasih untuk Dipo, harit dan jond yang sudah mengijinkan gue ikut dalam perjalanan ini. terimakasih IL, Ivan, Wibi, Enji,Culin, Aan, daeng, Ciming, Johan, Putri, Ardi, Titi, Suri, Alam, dan semua anak-anak Fokus Unram, khususnya IL yang sudah merelakan bajunya gue bawa pulang. gue meninggalkan novel Live Traveler gue untuk mereka, novel yang membawa gue ke Lombok, berharap juga bisa membawa mereka keJakarta suatu hari nanti.


Terimakasih untuk semua kesempatan, pelajaran, harapan, rasa, keindahan, cinta, dan kenangan yang sudah gue dapatkan dalam perjalanan ini. dan malam ini, di atas sofa, di balik jendela kamar kos gue di Jakarta, gue sudah menemukan diri gue yang baru, hobi baru, kecintaan baru, dan kesempatan baru yang lain yang menunggu untuk gue jelajahi. Rindu memang, bahkan sangat rindu ketika melihat video yang diunggah oleh harit malam tadi. tapi semua euforia yang gegap gempita itu sekarang sudah selesai, suasana perjalanan dan semua keindahan dan kenangan di sana sudah seharusnya gue selesaikan, tepat dengan selesainya tulisan perjalanan ini. tidak ada pilihan lain selain melanjutkan hidup, bukan?


2.15Am, 8 Juni 2012


Selamat ulang tahun ketum IL. terimakasih untuk semua jamuan dan persahabatan yang sudah terjalin, semoga tetap terus begitu, sampai The Sacred menemukan kita kembali. Nanti siang akan gue pakai baju yang lu kasi malam itu, malam ketika lu dan teman-teman yang lain mengantar kami ke pelabuhan Lembar :)


selamat dini hari dipo, terimakasih sudah mengijinkan gue menikmati perjalanan kemarin. terimakasih karena gue bisa belajar untuk menjadi orang yang tenang, berpikir sebelum bertindak, yang gue lihat dari lu :D


selamat dini hari jond, terimakasih sudah menjadi partner gue selama trip kemarin, setia membawa tas keril setinggi gue yang isinya juga ada barang-barang gue, terimakasih sudah bersenang-senang bersama.


selamat dini hari Harit, terimakasih sudah memberi banyak pelajaran, terimakasih sudah memberikan kesempatan untuk menikmati dan tidak melewatkan satupun selama perjalanan kemarin.


selamat dini hari teman-teman Fokus Unram, terimakasih untuk semua cinta dan romantisme luar biasa yang sudah kita ciptakan bersama. semoga Jamborenya sukses:D


selamat dini hari, terimakasih Lombok, sampai bertemu dengan JUDUL YANG BARU :)

#DPRWolesGoesToLombok {6}

suatu hari disebuah perjalanan


{Day 7}

Hari ke tujuh, gue bangun kira-kira pukul 8.30 pagi. Tidak sempat menikmati angin pagi Mataram, rasa malas untuk kembali ke Jakarta sudah mulai menggerogoti gue. Senin pagi di Mataram sangat jauh berbeda dengan senin pagi di Jakarta yang sudah ramai dengan bunyi klakson kendaraan, asap polusi, dan kemacetan. ahh, rasanya tidak ingin bergelut dengan semua itu lagi.

Rencananya kami akan ke Sukarare, membeli oleh-oleh untuk sahabat dan keluarga. Teman-teman Fokus Unram harus ke kampus terlebih dahulu, jadi kami berangkat siang hari menuju Sukarare. Semangat gue mulai mengendur, entahlah, mungkin karena masih ingin menikmati perjalanan ini lebih lama. Malam nanti kami akan kembali ke Bali, meninggalkan semuanya di sini, ya kurang lebih begitulah suara kecil yang bergema di kepala gue. Gue sempat berfoto bersama IL dan Ivan sore itu, karena gue pikir gue akan merindukan mereka, merindukan lelucon-lelucon bodoh dari mulut mereka.

bersama ketum IL

bersama Ivan





Sudah cukup sore ketika kami berangkat menuju Sukarare, hari itu gue menumpang di motor Ivan. Sepanjang perjalanan kami bernyanyi bersama lagu-lagu yang terputar random di handphone gue, untuk membunuh waktu selama perjalanan, sambil memejamkan mata, menikmati sore terakhir di pulau Lombok dalam perjalanan ini.

Pukul 4 sore kami tiba di Sukarare, membeli beberapa oleh-oleh. Beberapa buah tangan sudah kami dapat, dan rencananya kami akan menuju ke mataram untuk membeli beberapa lagi. Di sepanjang jalan pulang gue memejamkan mata, merasakan angin sore dan cahaya lembayung senja menembus kelopak mata gue. Gue sempat menulis rasa itu di notes handphone gue...

"Memejamkan mata, membiarkan angin sore menerpa wajah dan rambut berkibas membelah cahaya lembayung matahari yang menembus kelopak mata. Yaa, gue mau menikmati sore terakhir gue di lombok dalam trip ini. Honeymoon on icenya TTATW sedang bermain lembut di telinga, kemudian suara kecil mulai bermonolog dalam benak... Gue tinggalkan kalian di sini, di pulau luar biasa ini, kalian 3tahun setengah, jidat helipet, dan semua kalori dalam otak gue" ~ sambil melepas kepalan tangan kembali suara kecil bernarasi "gue lepasin kalian di sini, gue lepasin kalian semua di Seriwe, biar terbawa angin dan bebas. Gue lepasin kalian di Gili Trawangan, biar tersapu ombak dan menghilang" ~ cahaya lembayung jingga menembus kelopak mata, wajah gue masih tersapu angin, imajinasi bermain-main seperti membentuk siluet diri gue dibiaskan cahaya matahari. Yaa, di sana diri gue yang baru, memilih kebebeasan untuk menjadi diri sendiri, memilih cara terbaik untuk menikmati hidup, memilih untuk selalu bersyukur atas apa yang gue rasa, apa yang gue terima, apa yang gue lihat, apa yang gue nikmati, dan untuk semua hal yang terjadi dalam hidup gue. Lalu gue akan kembali ke Jakarta, membawa jiwa gue yang baru, hati gue yang baru, dan senyum gue yang baru.

Yaaa, kebebasan menjadi diri sendiri memang tidak bisa di beli, tapi di pilih."

Begitulah tulisan yang tercipta sore itu, iya, sore terakhir di Pulau Lombok dalam perjalanan bahkan sempat memberi pelajaran dan rasa luar biasa buat gue. Tujuan gue ikut dalam perjalanan ini tercapai.


- Menghabiskan malam bersama anak-anak Fokus Unram-

Setelah mendapatkan semua oleh-oleh yang hendak dibawa ke Jakarta, kami kemudian menuju Studio Fokus Unram. Sudah pukul 6.40 menit kami meninggalkan pusat perbelanjaan oleh-oleh itu. Gue memboncengi IL sampai kampus Unram, sepanjang jalan IL mengingatkan untuk pelan, haha.

Studio Fokus Unram sudah ramai oleh anggotanya, gue tiba dan disambut oleh Culin dengan menyodorkan telapak tangannya, mengajak high five karena telah berhasil memboncengi ketum IL sampai ke kampus Unram, haha. Malam itu kami menulis pesan dan kesan di buku tamu, makan sayur kangkung pedas khas lombok bersama-sama, merekam video promosi Jambore, dan berakhir dengan berfoto bersama. Malam itu romantis, canda dan tawa kami saat gue mendadani IL dan Ardi sebelum mereka mempromosikan Lombok dan Jambore, senyum sumringah kami ketika berfoto bersama, semuanya.

Malam itu akhirnya harus kami sudahi dengan mengucapkan "makasih ya,sampe ketemu di kesempatan berikutnya, semoga cepat lulus, sukses" dan lain lain sebagainya kepada anak-anak Fokus Unram. sedih, ia gue sedih ketika harus menyadari kalau jam 12 nanti gue harus meninggalkan pulau ini. "udah jam setengah 11" kata suara kecil dalam kepala gue ketika melirik ke arah jam tangan.

Kami akan diantar oleh Opung, IL, Enji dan Culin sampai pelabuhan Lembar, tempat pertemuan kami pertama kali. Sebelumnya kami kembali ke rumah Wibi, packing sekaligus pamit dan menghaturkan terimakasih yang luar biasa kepada orang tua wibi atas kebaikan hatinya meminjamkan ruangan untuk tempat kami menginap, juga pamit kepada Wibi dan Ivan, Ciming, dan teman-teman lainnya yang tidak bisa ikut mengantar kami ke Pelabuhan. Haru, iya haru yang menjadi rasa dominan malam itu. Gue menarik nafas dalam-dalam, merasakan udara malam Mataram masuk ke paru-paru gue, menyimpannya rapih di sana, seperti setiap moment yang telah menjadi kenangan...

Di rumah Wibi, bersiap-siap menuju Pelabuhan Lembar, 11.50 Malam


Angin malam itu cukup membuat gue menggigil kedinginan, untung pakai celana panjang seperti pesan Suri, salah seorang anggota fokus Unram, jadi tidak begitu menyiksa. Sepanjang jalan menuju pelabuhan Lembar gue diam, melihat gelap, dan bersyukur kepada The Sacred untuk kesempatan menikmati perjalanan ini. Opung mengendarai motornya pelan, biar tidak terlalu dingin katanya. 


sekitar pukul 12.10 malam kami tiba di Pelabuhan Lembar, seperti biasa calo-calo pelabuhan mulai merapatkan barisan ke arah kami, mereka sempat mengira kami pendaki yang baru turun dari Gunung Rinjani, mungkin karena melihat Jond dan Dipo membawa tas keril besar. Perdebatan untuk negosiasi harga dilakukan oleh Jond dan dibantu IL, Enji dan Dipo. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan jasa calo yang menawarkan tiket RP. 30.000, 6000 rupiah lebih murah dari harga aslinya. 


Motor diparkir di luar pelabuhan, kami berjalan bersama menuju dermaga. haaaaah, harus ada perpisahan memang. kapal Fery sudah menunggu kami, kami segera berpamitan kepada Enji, IL, Culin dan Opung. Air mata sudah berkumpul, tapi tidak terjatuh karena malu :D perpisahan kami malam itu romantis. rasanya ingin gue peluk mereka satu-satu, sebagai sahabat yang sudah sangat baik menjamu kami selama perjalanan ini. Kami akhirnya harus melambaikan tangan sambil berjalan menuju kapal Fery. Mereka menunggu sampai kami masuk ke dalam kapal, memastikan kami tidak ditipu oleh calo-calo pelabuhan. ahh, gue bakal kangen semua ini, bakal kangen mereka. 


- Di atas Kapal fery, menuju Bali, 2.00 dini hari-




Harit sudah mengambil posisi untuk tidur, Dipo dan Jond keluar untuk minum kopi dan merokok, gue harus tetap terjaga menjaga barang bawaan kami. kapal yang kami tumpangi malam itu cukup bagus dan bersih, sepertinya kapal baru. Tempat untuk lesehan hanya sedikit karena didominasi kursi berjejer menghadap arah depan kapal dengan televisi di sisi paling depan seperti bioskop, dan beberap kursi panjang melingkari meja kecil. 


beberapa lagu gue dengarkan untuk membunuh waktu, kemudian kembali menulis di notes handphone ...


"Langkah gue seperti lemah terayun memasuki kapal Fery yang sebentar lagi akan berangkat menuju Pelabuhan Padang Bai, Bali. Euforia perjalanan yang luar biasa ini masih terlalu gegap gempita untuk gue padamkan malam ini, yaa tapi memang itu satu-satunya pilihan.

Perjalanan 6hari belakangan ini, di pulau yang luar biasa indah seperti menularkan keindahan tersendiri dalam setiap hal yang pernah terjadi di sana, dan malam ini, di sini, di atas kapal fery ini, gue harus menghapus semuanya, jika perlu gue bahkan harus membuangnya di laut, membiarkan mereka terbawa ombak, atau menjadi makanan ikan, atau bahkan bisa terdampar di satu pantai dan suatu hari nanti bisa gue temukan kembali. Yang pasti gue ngga boleh membawanya pulang ke Jakarta. Semuanya harus gue tinggalkan di sini, ngga boleh ada yang tersisa."


tulisan gue malam itu akhirnya membawa gue kepada rasa lelah dan kemudian menemukan sandaran kepala dan tertidur. Sampai jumpa lagi Lombok, sampai ketemu lagi dengan judul yang baru.

#DPRWolesGoesToLombok {5}

suatu hari disebuah perjalanan...


{Day 6}

"Perjalanan membawa berbagai keindahan. menciptakan berjuta kenangan. merangkai jalinan persahabatan. membawa sekalung harap di atas angan. dan, Menjadi sebuah pelajaran. Di sana, di Gili Trawangan"


"Cel, berenang ngga cel?" suara yang entah suara siapa membangun gue. Sudah pukul 10.20 siang ketika gue melirik ke arah jam tangan yang masih melingkar dipergelangan gue. "Ahhh, kesiangan, gara-gara tidur jam 5 jadi ngga liat sunrise nih, sial" pikir gue dalam hati sambil merenggangkan tulang dan segera bangun lalu keluar dari tenda. IL, Wibi, Enji dan Jond sudah bangun dan sedang menikmati hangatnya kopi sehangat suasana siang di Pantai Gili Trawangan. Gue duduk tepat di pintu depan tenda. "Tum, bagi air minum dong" kata gue sambil menunjuk sebotol air mineral yang posisinya tepat disamping kiri IL. Dengan semangat IL menyodorkan sebotol air mineral tersebut. "huweeeekks, sialan air laut nih ya!! aaaa taekk! ahahah" gue memuntahkan air asin yang sudah sempat masuk ke tenggorokan gue. Mereka semua tertawa sepenuh hati. "Nggak apa-apa cel, kapan lagi minum air laut Gili Trawangan" yang gue sambut sambil tertawa dan melemparkan kerang-kerang kecil di tangan gue. Rasa ingin berenang sudah tidak terbendung ketika melihat Jond dan Enji sudah berada di tengah pantai sambil menyelam. Gue segera masuk ke dalam tenda untuk mengambil kacamata dan membangunkan Harit yang saat itu masih pulas tertidur. "Rit, bangun! katanya mau motret?"

Setelah mengambil kacamata gue berjalan di pesisir pantai, meminta Ketum IL untuk mengambil potrait diri gue sambil berjalan dan menikmati keindahan Gili Trawangan. Dominasi warna biru dan putih bening ada di sudut mata gue. Angin laut masih menyapa dengan ramah membelai rambut gue yang tergerai. Menikmati waktu itu memang sederhana, menemukan kebahagian itu memang sederhana. 

Puas mengambil beberapa gambar dan menikmati rona biru disepanjang pantai Gili Trawangan, gue kemudian masuk ke dalam air. Enji sudah memegang kamera underwater milik Dipo. Dengan semangat gue meminta untuk dipotret sambil menyelam, ivan juga ikut bergabung, berenang bersama gue,Jond dan Enji.


kami semua bersemangat bermain air pantai yang bening dan berhasil ditembus oleh cahaya matahari yang cantik dan merona siang itu. Tidak akan berhenti sampai mata menjadi perih karena air asin :D

puas merasakan air dan berenang lalu menyelam, kami semua kembali ke pinggir pantai. menikmati kopi dan rokok, sekali lagi bahagia itu sederhana. Membicarakan banyak hal, bercanda, dan bermain pasir, week end  yang indah di salah satu pulau terindah di Lombok. Siang itu banyak turis asing yang menikmati ombak sambil surfing, beberapa diantaranya adalah perempuan dengan balutan bikini, hahaha. Mata Culin, Wibi, Enji, Ivan, IL, Jond, dan Dipo sangat cermat seketika melihat sosok turis perempuan berjalan di depan tenda kami sambil membawa papan surfing, hahaha. Jond sempat mengajak salah satu diantara mereka untuk berfoto bersama, sayangnya si Turis tidak begitu merespon, tapi Jond tetap semangat, berjalan di sampingnya dan minta diabadikan oleh Enji. 


-Makan Siang Bersama Jonathan-

Perut sudah mulai terasa lapar, keasyikan berenang ternyata menguras tenaga. Culin ditugaskan oleh IL untuk membeli beberapa nasi bungkus yang bisa kami nikmati bersama. sambil menunggu Culin kami menikmati waktu "me time" masing-masing. sekitar 20 menit menunggu Culin sampai akhirnya dia datang membawa harapan, hahaha.

Makan siang bersama Jonathan, teman baru dari Amsterdam
Kami melahap makan siang dengan bersemangat, semuanya terlihat menahan lapar dari malam kemarin, haha. siang itu kami menawarkan seorang turis asing bernama Jonathan untuk bergabung makan siang bersama kami, dan tidak disangka dia tertarik dan turut mengambil bagian. Jonathan sedang berlibur bersama teman-temannya, dia baru saja selesai surfing dan hendak kembali ke hotel menemui temannya yang lain. Kami sempat berbincang tengan sepak bola, dan kuliah, juga tidak melewatkan kesempatan untuk mengambil speed action freezing bersama.


Puas bermain bersama kami, Jonathan akhirnya pamit dan kembali ke hotel menemui teman-temannya yang lain. Setelah melihat hasil foto yang bagus saat lompat, kami akhirnya mengambil beberapa foto lainnya bersama anak-anak Fokus Unram :D



semua moment dan kebersamaan sebagai teman baru terasa seperti sahabat lama bersama anak-anak Fokus Unram. kesetiaan mereka menemani kami, semuanya seperti terjalin sudah lama dan begitu akrab. Di Tanah Lombok, kami menemukan semeton:)

Matahari terus tersenyum menemani kebahagiaan dan rasa senang kami siang itu, Jond sempat bermain bola bersama turis asing juga Ivan dan Enji :D

Di sinilah kami menemukan, bahwa waktu begitu berharga, menikmati hidup begitu berharga, tawa dan canda bersama sahabat baru begitu berharga, dan semua itu berlangsung sederhana, tidak ada kemewahan namun tidak ada harga yang mampu membayar. Kami menemukan kesederhanaan dalam setiap senyum bahagia kami. Seperti pasir yang merelakan dirinya terbaur air laut, kemudian menciptakan shape indah di pasir.   Seperti laut dan langit, yang menyatu dalam biru yang menciptakan lukisan luar biasa di pesisir. Kesedarhanaan ini akan selalu menjadi kenangan dalam imaji sepanjang nafas bergulir.

- Kembali Ke Mataram-

Setelah puas menikmati suasana dan berbagai moment luar biasa di Pulau tanpa Polusi dan Polisi, akhirnya, mau tidak mau kami harus meninggalkan pulau itu. Kurang lebih pukul 2 siang kami membereskan berbagai perlengkapan, melipat tenda dan matras. "ehh, tutup lensa gue mana?" tanya gue ketika anak-anak yang lain sedang merapihkan bawaannya masing. Ya, tutup lensa gue hilang, sepertinya benda ini sangat mencintai Gili Trawangan, tidak ingin pulang, atau mungkin ingin gue temukan kembali suatu hari nanti ketika gue kembali ke pulau ini, entahlah.

Sempat mengambil sebotol pasir pantai Gili Trawangan yang ternyata ada kepingan-kepingan kerang berwarna pink tercampur bersama putih yang menjadikannya indah. "bakal gue taro dikamar" pikir gue dalam hati, berusaha membunuh mood yang sempat rusak akibat kehilangan tutup lensa. 

public boat sudah siap menghantarkan kami kembali ke Pelabuhan Bangsal. Sebelum kembali, Dipo,Harit, IL, dan Culin sempat mengambil gambar untuk dokumentasi, lalu setelah itu kami naik ke atas public boat, mengambil posisi masing-masing, menikmati kelelahan dan suasana senang yang ikut masuk ke dalam hati masing-masing kami.

Gue menikmati ombak biru itu, gue menikmati ikan-ikan kecil yang melompat bersama-sama dan melakukan atraksi seperti lumba-lumba, gue menikmati hamparan pulau itu, gue menikmati langit biru itu, dan gue menikmati semuanya, setiap pelajaran dan harapan yang gue temukan dalam perjalanan, dan salah satunya di Gili Trawangan.

Kurang lebih pukul 3 sore kami sampai di Pelabuhan Bangsal, cuaca masih sangat panas, gue sempat membeli es krim coklat, Dipo membeli kopi kaleng dingin, dan rokok sambil menunggu teman-teman yang lain mengambil motor di tempat penitipan motor. Setelah itu kami kembali ke Mataram.

- Malimbu, Ketika matahari dan laut bercumbu-

Perjalanan pulang kami dikelilingi oleh bukit dan pantai, di sebelah kanan ada hamparan pantai yang panjang sekali, dan di sebelah kiri ada hamparan bukit yang indah sekali. Kami menyempatkan diri untuk mampir sebentar di Malimbu, salah satu tebing yang di bawahnya pantai dengan pemandangan fantastis. beberapa warga lokal, khususnya anak muda terlihat nongkrong menikmati matahari yang sebentar lagi bercumbu dengan laut.


Setelah puas bermain-main di Malimbu, kami melanjutkan perjalanan pulang. Badan sudah mulai terasa letih, tapi pemandangan alam indah di Pulau Lombok menjadi obat yang ampuh menyamarkan lelah.


Sudah magrib kami baru tiba di Rumah Wibi, gue langsung bergegas mandi supaya kembali segar. Malam itu gue mengedit beberapa foto lalu kemudian memutuskan untuk menikmati waktu sendiri di teras rumah wibi. gue duduk di tembok kecil setinggi pinggang yang melingkari teras. di sana gue bisa menemukan rasi bintang layang-layang. rasi bintang yang selalu gue temukan entah itu di Seriwe, Udayan, atau di Gili Trawangan. Gue mendengarkan beberapa lagu untuk masuk ke dalam setiap sel otak gue, merapihkan satu per satu moment dan kenangan yang sudah gue lewatkan di Lombok ini. Memilih bagian yang harus di hapus, dan yang harus di simpan dalam satu folder khusus. Angin Mataram malam itu lembut, dingin, dan membekukan.


Dipo dan Jond sedang asik mengobrol, entah mereka membicarakan apa. Harit sudah tidur, Wibi juga begitu, kecuali Ivan yang masih bangun dan menginap di rumah Wibi malam itu. Enji sepertinya sudah tidur bersama Wibi, dan Ketum IL, sedang pergi bersama Culin, entahlah mereka kemana, gue kurang memperhatikan karena keasikan menikmati "me time".


Malam itu ditutup dengan Desire dari Pure Saturday. Terimakasih untuk hari ini, terimakasih untuk kisah ini.

Minggu, 03 Juni 2012

#DPRWolesGoesToLombok {5}

suatu hari disebuah perjalanan


{Day 5}
-Part One-

Pukul 7 pagi gue sudah rapih dan segar setelah mandi, gue duduk di kursi bambu di depan rumah wibi. di sana ada sebuah meja kecil untuk meletakan segelas kopi yang baru saja gue buat. sambil kembali menikmati angin pagi khas kota Mataram dan hayal serta imaji kembali bermain-main ke dalam moment yang baru saja gue lewati empat hari belakangan. kopi pagi terasa lebih nikmat dari biasanya. manis, persis seperti perjalanan ini.

Dipo, Harit dan Jond seperti biasa masih terlelap. lelah dari Seriwe sepertinya masih menempel di tubuh mereka masing-masing. Hari itu hari sabtu, hari dimana Ivan, salah seorang anggota Fokus Unram yang menemani perjalanan kami selama di Lombok merayakan hari wisuda sebagai A,Md nya. Karena hari itu Ivan wisuda, anak-anak Fokus Unram harus menghadiri acara wisuda dan akhirnya menjemput kami sekitar pukul 3 sore. sambil menunggu waktu, gue, dipo, harit dan jond melakukan kegiatan kami masing-masing. Gue mengedit beberapa gambar yang berhasil gue dapat kemarin di Seriwe, setelah itu bergantian dengan Harit, Dipo merebahkan diri di atas karpet di teras depan bersama Jond sambil berbincang-bincang ringan dan menyeruput kopi. Sore itu kami akan ke Gili Trawangan.

Pukul setengah 4 sore akhirnya anak-anak Fokus Unram, IL, Enji, Culin, Wibi dan Ivan akhirnya datang menjemput kami. Segera kami menyiapkan peralatan dan bawaan pribadi untuk menikmati malam minggu di salah satu pulau terindah di Lombok, pulau yang tanpa polusi dan polisi, Gili Trawangan. Seperti hari-hari kemarin kami menuju Pelabuhan Bangsal mengenderai sepeda motor, sore itu gue menumpang di motor Ivan, selama diperjalanan gue dan Ivan mendengarkan beberapa lagu di smartphone gue. Viva la vida nya Coldplay, You're my everythingnya Glenn Fredly sampai Dont Stop Me Now nya Queen. kami bernyanyi sepanjang jalan, melalui bukit dan menanjak, berbelok menemukan bayangan sepeda motor di atas jalanan yang berkelok-kelok curam tanpa pembatas itu. kami memang sengaja melewati jalur gunung untuk mendapatkan pemandangan baru, kata Ivan yang akrab gue panggil Ngkong.

Di sepanjang perjalanan, di atas bukit dengan hembusan angin yang lebih dingin, berjejer beberapa anak monyet, kata Ivan di daerah gunung ini memang masih banyak monyet berkeliaran tapi tidak sebanyak dulu, sekarang monyetnya sudah mulai sedikit karena diburu oleh masyarakat lokal, entahlah digunakan untuk konsumsi atau menjadi komoditi. setelah melewati jalur "monyet" motor sudah mulai menuruni bukit, pemandangan yang biasanya yakni hamparan pantai dan laut berubah menjadi sawah dan bukit, waktu itu sekitar pukul setengah 5 sore, cahaya matahari sudah berubah menjadi jingga. terlihat beberapa anak muda bermain bola di lapangan hijau di kaki gunung. dominasi hijau ada disudut mata gue, tidak kalah indah dari pemandangan biasanya. menenangkan, menyejukan dan selalu menyegarkan setiap sel di otak gue yang selama ini sudah tersumbat asap dan polusi Jakarta.

- Menyeberang ke Gili Trawangan-

Tidak lama setelah menikmati pemandangan dengan nominasi warna hijau, akhirnya kami tiba di Pelabuhan Bangsal, pelabuhan tempat public boat berlabuh untuk mengambil dan menghantarkan penumpang ke Gili Trawangan. Pemandangan laut, pantai dan sunset kembali menyapa dan mengucapkan selamat datang. Sebelum berangkat kami membeli logistik terlebih dahulu, air minum satu kardus besar menjadi pilihan kami. setelah membeli beberapa cemilan, rokok dan minuman, kami kemudian naik ke atas public boat yang sudah hampir penuh diisi penumpang. Kami duduk di bagian kapal paling depan. mengobrol, dan bermain-main dengan kamera, mengabadikan moment sore itu. Gue sempat berbincang dengan salah seorang warga negara asing dari Jerman bernama Sutczhi, dia baru saja menyelesaikan studinya di Mesir dan merasa sangat membutuhkan liburan, jadi di sanalah dia dan teman-temannya, berusaha menemukan keindahan dan "tombol f5" untuk kembali merefresh otak dan pikiran. Tidak beda jauh sama gue, pikir gue dalam hati.

air laut bermain-main menciptakan gemercik bersama sebongkah kayu yang menjadi bagian dari kapal, mereka menciptakan nada tersendiri yang menyenangkan, berpadu bersama pantulan cahaya orange dari sinar matahari yang hendak kembali ke persembunyiannya. 20 menit kami menikmati itu, lalu kemudian tiba di Gili Trawangan.

"Selamat datang di Gili Trawangan" Sambut Candra, teman dari Ivan dan IL yang sudah menunggu kedatangan kami. beruntung kami mengenal Candra sehingga kami tidak perlu bersusah payah meminta ijin untuk membangun tenda di pinggir pantai. Candra sudah lama tinggal dan bekerja di Gili Trawangan, dia sudah berkeluarga dan akan segera mendapatkan anugerah Tuhan yakni seorang anak, kurang lebih itulah obrolan singkat tentangnya yang mengiringi langkah kaki kami disepanjang pesisir pantai Gili Trawangan sore itu. Pemandangan sekitar didominasi oleh turis-turis asing, berbikini, naik sepeda atau sekedar berjalan kaki.

Akhirnya kami menemukan tempat yang pas untuk membangun tenda, di sekitar tanaman bakau yang tumbuh subur di pasir putih dengan serpihan kerang berwarna merah jambu di Gili Trawangan.


Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk membangun tenda sore itu. Matahari sudah kembali kepangkuan ibunya, dan kami anak-anak manusia sedang berusaha untuk sebisa mungkin menikmati malam (yang akan menjadi panjang) saat itu. Melihat pantulan cahaya bulan serta bintang di laut, menikmati deburan ombak dan beberapa lantunan musik dari cafe yang letaknya tidak jauh dari area camping ground kami.


sleeping bag digelar, Dipo dan Harit merebahkan tubuh mereka di sana, dengan hayal dan imaji masing-masing. Gue masih duduk, memasuki dunia hayal gue sendiri. Jond dan IL berjalan-jalan di pinggir pantai dan kemudian menghampiri gue, menunjukan sebuah cahaya ditangannya, dan ternyata itu adalah sebuah batu yang bisa menyala. "Gilaaa!! kerennnn banget!!! nemu di mana nih Jon?" Kata gue antusias. "Di sana no, ayo makanya!" kata Jon sambil menunjuk ke arah pinggiran pantai tempat ombak berkumpul membentuk warna putih seperti busa. Gue berjalan dengan tidak berhenti tersenyum, berusaha mencari batu-batu kecil yang memancarkan cahaya berwarna biru dan hijau. "wooohhoooo ketemu, anjiiir keren banget aslik! baru kali ini gue nemu batu bisa nyala, anjeeeeeng!!!"  gue setengah berteriak sesaat setelah gue menemukan batu itu. Kejutan pertama di Gili Trawangan, malam minggu yang tidak ada duanya!!!


Masih asik mencari batu-batuan yang menyala, tiba-tiba ada cahaya kembang api, yak! semakin lengkaplah kejutan malam itu! "ALLLIIIGGG!!! Liburan gue kece banget!!" Sahut Jond, "Kembang api broooh, di Gili Trawangan Broooh, malem minggu brooohhh!!! Gokiiilll!!!" kata gue sambil berteriak. Iya, malam itu gue sangat menikmati suasana, semuanya, tidak mau melewatkan satupun. Setelah puas mencari "batu menyala" gue tiba-tiba ingin merasakan eargasm , sambil merebahkan tubuh di atas pasir, gue pasang earphone gue, memutar sebuah lagu berjudul Berlyn yang dinyanyikan dengan romantis namun sedikit dramatis dan sendu oleh The trees and the wild. Lagu itu membawa gue kepada suatu masa yang harus gue tulis di atas pasir Gili Trawangan dan akhirnya terhapus ombak. Sembari memejamkan mata, gue berusaha untuk masuk ke dalam lagu itu, menikmati setiap dentuman nada yang tercipta dari instrumen-instrumen musik di sana. Sepertinya malam itu hanya ada gue, dan ombak, dan angin. Gue membuka mata dan kembali mendapatirasi bintang layang-layang. Moment ini, semuanya ini, mereka semua sudah melekat di dalam setiap sel otak gue, tidak ada satu selpun yang terlewatkan.


"Berenang kane kali nih yee!" Kata Jond mengajak gue berenang. Malam itu sudah pukul 11, angin laut sudah mulai terasa dingin, "boleeehhh!!!" kata gue bersemangat. seperti yang sudah gue bilang sebelumnya, gue ngga mau melewatkan malam ini, jadi berenang di laut tengah malam juga tidak menjadi hal yang harus ditolak :D Malam itu gue, jond dan Ivan berenang-berenang kecil dipinggir pantai. Kami duduk di atas karang di dasar pantai itu, dari dalam air "batu menyala" itu menempel di kaki gue seperti pantulan cahaya bintang. Kami membuka obrolan-obrolan kecil untuk membunuh rasa dingin. Ketika sedang asyik bercengkrama sambil berendam di dalam air asin yang dinginnya seperti air di Wonosobo, gue menghadap ke atas langit, dan ...... melihat bintang jatuh. "This is such a fuckin great and unforgetable moment!!!" pikir gue dalam hati yang kemudian di susul oleh kalimat "Ya Tuhan semoga ..........." dari mulut gue. Jond dan Ivan tertawa saat gue berteriak mengucapkan wish gue ketika melihat meteor itu. AHHH ROMANTIS sekali.


Badan kami akhirnya sudah mulai terasa beku, air laut menjadi semakin dingin, beberapa menit kemudian gue menghadap lagi ke langit, lalu ..... yaa ... gue kembali melihat meteor, dan sontak kembali berteriak "Ya Tuhan, semoga ........." wish kedua, dan kembali di tertawakan oleh Jon dan Ivan. Akhirnya kami kembali membuka obrolan baru yang akhirnya terpaksa kami sudahi karena sudah mulai menggigil kedinginan. Kami kembali ke atas, mengenakan pakaian dan kembali berkumpul bersama anak-anak lain yang sedang asik menikmati malam minggu luar biasa itu sambil menenggak "brem" dan membicarakan banyak hal.


Kami membentuk sebuah lingkaran dan membakar api unggun. "wooohh!! api unggunan, kembang api, bintang jatuh, nenda, di Gili Trawangan, ahhh cakep banget nih liburan gue" suara-suara kecil seperti biasa bermonolog dalam benak gue. Gue kemudian merebahkan kepala gue dan membiarkan pasir putih menempel dikaki dan tangan gue. ada bayangan sebuah tangan menyentuh kepala gue, iaa bayangan itu ada di dalam hayal yang gue temukan saat gue memejamkan mata. Sayup-sayup gue dengar suara Candra sedang menceritakan sejarah gunung Rinjani dan pulau Lombok. Kemudian gue kembali bangun dan duduk tertegun menemukan diri gue di sebuah pulau yang luar biasa indah, dengan moment yang tidak ada duanya, jauh dari Jakarta, jauh dari mereka, seperti tujuan gue sebelumnya.


setelah menikmati "me time" gue kembali ke lingkaran, Jond dan Ivan berencana untuk lomba lari. Siapa yang pertama kali tiba di garis finish dan memegang tangan Culin, dia yang menang, yang kalah harus push up 20 kali. Mereka pun mulai berlari dari jarak jauh sehingga badan mereka tidak terlihat dimakan gelap. Ivan berlari kencang dan tiba digaris finish, sedangkan jond berada 1 meter di belakangnya, tiba di garis finish dan memegang tangan Culin. Ivan harus menerima kekalahan karena tidak memegang tangan Culin saat tiba di garis finish pertama kali "ahhh orang Jakarta emang licik nih!!!" katanya sambil tertawa. Kami semua tertawa, melihat Ivan yang dengan kesal harus push up 20 kali. olahraga malam di Gili Trawangan lumayan lah :D


- Malam itu, di pulau itu-


Malam semakin larut, sudah pukul 2.00 pagi ketika gue dan jond masuk ke dalam tenda. Dipo sudah tertidur lelap, Enji, IL, Culin, Wibi dan Ivan juga sudah mulai memasuki alam mimpi mereka. Harit sedang berjalan-jalan menikmati suasana malam di Gili Trawangan. "Gue ngga mau tidur ah" kata gue dalam hati. sekitar pukul setengah 3 gue keluar, merebah dan menyenderkan kepala di sebuah batang kayu kering di samping tenda, kantuk sama sekali belum datang menghampiri. Perasaan senang dan sangat ingin menikmati moment menguasai gue. "belum tentu nanti bisa gini lagi" pikir gue. Mendengar ombak berkejar-kejaran dengan romantis membentuk gumpalan-gumpalan air berwarna putih, melihat ke arah depan menemukan bintang dengan warna-warna seperti pelangi, menghadap ke arah kanan menemukan cahaya bulan sabit di balik dedaunan pohon bakau, dan menghadap ke arah kiri menemukan teman-teman yang lain sudah tertidur pulas. Malam itu romantis. 


sekitar pukul 4.30 pagi dini hari gue kembali melihat bintang jatuh, satu harapan kembali gue utarakan dalam hati, dan gue amini sambil tersenyum. tidak ada yang bisa membeli moment itu. tidak ada yang bisa membeli setiap keindahan dan keharmonisan alam yang diciptakan The Sacred itu. tidak ada yang bisa gue lupain dari setiap detik malam itu. dan tidak ada lagi mereka.


sudah pukul 5 pagi, gue akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam tenda. Gue memejamkan mata dan akhirnya masuk ke dalam alam bawah sadar gue. Bahkan di sanapun gue masih menemukan semua keindahan malam itu, bahkan di sana pun gue menemukan bayangan itu.

Jumat, 01 Juni 2012

#DPRWolesGoesToLombok {4}

suatu hari di sebuah perjalanan ...


{Day 4}
-Part Two-


- Suku Sasak, Desa Sade-

Pukul 2.00 siang WITA, kami bersiap-siap kembali ke Mataram, segala peralatan, tas dan barang dirapihkan kembali. Sebelum kembali ke Mataram, rencananya kami akan mampir sebentar ke Desa Sade, Pantai Kuta dan Tanjung Aan. Pukul 2.20 menit kami meninggalkan rumah Puji, juga meninggalkan rasa terimakasih dan cinta yang sedalam-dalamnya untuknya dan keluarga kecilnya.

kami kembali ke Mataram tanpa Culin dan Alam karena mereka sudah pulang duluan. Jond mengendarai motor Culin bersama IL, Dipo bersama Enji, dan gue bersama Harit. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam, kami akhirnya tiba di Desa Sade. Sebuah desa pariwisata yang dibentuk oleh pemerintah setempat. desa ini adalah pemukiman suku Sasak, suku asli Lombok.


Di Desa Sade ini, suku Sasak bermukim dan melakukan aktivitas sehari-hari mereka. Menenun, dan berjualan kain hasil tenunan mereka. Desa ini memang cukup ramai dikunjungi wisatawan, sehingga suasananya hampir seperti pusat perbelanjaan kain, sayangnya gue tidak mendapat banyak informasi unik tentang masyarakat suku Sasak ini. yang gue tau adalah, perempuan suku Sasak harus bisa menenun kain. Menenun adalah indikator kedewasaan perempuan suku Sasak, jika mereka sudah bisa menenun, maka mereka sudah dinyatakan dewasa dan diperbolehkan menikah. Rata-rata, perempuan sasak sudah bisa menenun kain sejak usia 10-12 tahun.


Tradisi ini diwariskan turun temurun, termasuk juga tradisi menculik pasangan saat hendak menikah. Laki-laki diwajibkan menculi calon istrinya, dan membawanya kabur ke tempat yang tidak diketahui oleh pihak keluarga perempuan, setelah itu keluarga laki-laki akan mengirim utusan ke pihak perempuan, memberikan kabar bahwa anak perempuannya telah diculik dan telah dinikahi. Hampir sama dengan tradisi yang ada di suku Baduy, Pandeglang Banten. Kurang lebih itu saja informasi mengenai masyarakat Suku Sasak ini. mereka sudah sangat mahir dalam transaksi jual beli, menawarkan barang dan menjelaskan kebudayaan mereka. Rumah mereka juga terbuat dari bambu, namun beralaskan tanah, setiap minggu tanah itu dipel menggunakan kotoran kerbau, salah satu tradisi yang unik dari Suku Sasak.

- Tanjung Aan -

Setelah melihat dan sedikit mengeksplorasi kebudayaan suku Sasak di Desa Sade, kami melanjutkan perjalanan menuju Kuta dan Tanjung Aan. Perjalanan dari Desa Sade menuju Tanjung Aan kurang lebih 1 setengah jam, kami tiba di tanjung Aan sekitar pukul 4.00 sore. Tidak mampir ke Kuta tapi langsung menuju ke Tanjung Aan. Setibanya di tanjung Aan, kami kembali disambut oleh pemandangan pantai dengan pasir putih yang romantis dan deburan ombak yang dramatis namun tenang. Pantai itu sepi, sepertinya hanya ada kami. Beristirahat sejenak, melepas lelah, menekan tombol f5 di sel otak sambil menikmati desiran angin yang tetap terasa lembut dan menyenangkan. Gue bahkan sempat meminum segelas susu untuk menstabilkan kondisi. 4.20, kami di Tanjung Aan :D


Dipo dan Harit seperti biasa menjalankan perannya seabagai fotografer, dan gue, karena kamera gue kehabisan baterai, akhirnya gue dan Jond cukup menikmati keindahan pantai Tanjung Aan, dan jutaan warna dari lukisan yang Maha Kuasa sore itu. kami sempat berfoto berempat, gambar ini diambil di tebing Tanjung Aan, berlatar belakang laut dan tebing yang lain, Ketum IL menunjukan one shot one skill nya :D. Kejadian lucu sore itu saat kami hendak menuruni anak tangga buatan di tebing itu, segerombolan anak kecil menengadakan tangannya ke arah kami sambil mengatakan: "Uang tangga, kami yang buat tu tangga" kata salah seorang dari mereka. aku tertawa geli, masih kecil sudah bisa pungli, kasian. Hal konyol ini akhirnya dihentikan IL dengan kalimat: "Sudah sana pulang tidur, anak kecil jam segini masih main!" menggunakan bahasa lokal. Ternyata Lombok Tengah memang masih dikenal rawan pungli, bahkan anak kecilpun bisa melakukannya. Kami harus segera meninggalkan pantai indah ini sebelum gelap.

Motor masing-masing sudah dinyalakan, ternyata motor yang gue dan harit pakai mengalami kerusakan pada lampu depan. Lampu depan motor tidak berfungsi, sehingga kami harus berjalan pelan di antara motor Jond dan Dipo, jalanan yang kami lewati juga tidak begitu baik, sehingga terasa semakin sulit. Setelah melalui perjalanan sekitar 2jam dengan kondisi lampu motor tidak berfungsi, akhirnya kami tiba di kota Mataram. Kami menyempatkan diri untuk menikmati makan malam di salah satu tempat makanann khas Lombok, Nasi Puyung. nama menunya lucu, nasi puyung sedang gaul, ekstra dan lain-lain. Nasi puyung ini terdiri dari nasi, ayam suir yang pedas, kacang, dan sambel yang pedas. Hampir semua makanan di Lombok ini terasa pedas namun sangat memanjakan lidah. Tidak berapa lama saat kami menikmati makanan khas Lombok ini, Culin datang dan ikut bergabung makan bersama kami. Pukul 7.40 malam kami kembali ke rumah Wibi. Seluruh badan terasa kaku, pegal dan lelah. Rebahan menjadi satu pilihan paling pas saat tiba di rumah Wibi.

Tidak berapa lama merasakan otot-otot kembali merenggang, gue menyalakan laptop dan memindahkan foto-foto selama di Seriwe dari kamera gue, Harit dan Dipo. Selanjutnya melihat Video saat kami di sana. Sangat menghibur, sukacita kami bahkan mampu mentransfer senyum dan membunuh rasa lelah kami malam itu. Semuanya tertawa, tersenyum dan pasti memiliki jutaan suara kecil dalam benak, bersyukur dan membentuk narasi sendiri-sendiri. Malam itu gue tutup dengan beberapa postingan di tumblr, dan tak lupa bersyukur kepadaNya untuk kesempatan luar biasa beberapa hari belakangan. hari keempat #DPRWolesGoesToLombok, gue temukan keindahan, nyanyian ombak, belaian angin, dan lukisan indah The Sacred yang kedua di Seriwe:)

#DPRWolesGoesToLombok {4}

suatu hari di sebuah perjalanan ...


{Day 4}
-Part One-

"Poh, katanya mau motret sunrise, bangun!" kata gue sambil mengguncang-guncang tubuh Dipo yang masih terlelap. Pagi itu kira-kira pukul 6.05am, matahari belum menyebarkan senyum kejinggaannya, hanya bias cahaya orange yang baru saja nampak dari balik tenda kami. Embun di luar tenda sudah mulai menguap menjadi titik-titik udara yang luar biasa sejuk memasuki paru-paru. Gue dan Dipo segera keluar tenda, bergegas mengambil kamera untuk sebisa mungkin memtoret moment sunrise cantik di Timur Lombok ini. "ayok ke bukit poh, bawa motor aja, si Culin sama Alam udah di atas noh" Sambil menunjuk ke arah bukit gue mengajak Dipo untuk naik ke atas bukit dan memotret di sana. Jond masih terlelap, malam itu dia tidur di luar tenda, lebih memilih untuk menikmati angin seriwe, daripada merasakan panas dan sempit di dalam tenda. Puji dan istrinya pun begitu, mereka dengan romantis tidur di luar dan membuat tenda darurat menggunakan sarung istrinya, Enji dan IL juga masih terlelap dan berselimut jaket. Pagi yang cerah, udara yang lembut, dan sinar matahari perlahan-lahan naik dengan romantis.

Di atas bukit Culin dan Alam sudah duduk memeluk lutut mereka, menikmati matahari yang perlahan-lahan keluar dari persembunyiannya. Dipo sudah mulai memasang tripod bersiap-siap mengabadikan moment indah ini, sayang dia tidak bisa menikmatinya bersama pacarnya :D. Gue juga begitu, menikmati indahnya pagi di bukit Seriwe bersama kekasih hati baru gue, kamera. Setiap keindahan yang gue lihat rasanya sayang untuk tidak diabadikan, dan kamera mengambil peran penting di sana. 

Gue duduk menghadap ke arah matahari, menulis kalimat "#DPRWolesGoesToLombok Day 4" di sebatang kayu kering yang gue temukan di atas bukit. Setelah menikmati asiknya mengabadikan moment indah itu, gue menarik nafas, kembali menengadah ke atas, lalu melihat ke dalam hati menggunakan rasa. Ini kejutan yang kesekian yang sangat luar biasa yang diberikan The Sacred untuk gue. Pelajaran kembali gue dapatkan. Bersyukur, meski untuk hal kecil sekalipun adalah hal fundamental untuk menikmati hidup dan menjadi pribadi yang bahagia. Senyum gue kembali terangkai, berusaha merekam pagi itu sebisa mungkin dalam benak dan imaji. Keindahan pagi Seriwe, kelembutan udara dan cahaya matahari Seriwe.

- Menuju Pantai dan Tebing Baru-

Setelah menikmati pagi, tak lama kemudian Puji mengajak kami untuk segera berbenah dan kembali ke rumahnya. Puji hendak mengajak kami melihat pantai yang belum tersentuh pariwasata, di sana juga ada bukit dan tebing yang indah. Sekitar Pukul 7.10am kami semua bersiap-siap, membereskan tenda, peralatan logistik, dan pribadi kemudian kembali ke rumah Puji.


{Rumah Puji}
(dokumentasi: Harit)

Hanya beberapa menit di rumah Puji, meletakan barang-barang bawaan dan sedikit meregangkan otot, kami langsung menuju ke pesisir pantai. Di sana banyak perahu-perahu nelayan yang mengapung cantik. Pasirnya pun masih sangat putih dan berkedap-kedip disapa matahari pagi. Ombak masih tenang disapu desiran lembut angin Seriwe. Kami semua bersemangat untuk menyeberang menggunakan perahu kecil milik Puji. canda dan gurauan mengantarkan kami menaiki perahu kecil itu, semua duduk dengan posisi sedemikian rupa agar perahu tidak miring dan terbalik. Dipo dan alam sedikit terlihat canggung karena tidak bisa berenang. Sedangkan IL, Enji, Culin dan Puji justru bercanda-canda dan tertawa menggoda Dipo dan Alam. ada anak kecil ikut bersama kami, gue tidak sempat tahu namanya siapa, tapi dia adalah keponakan dari Puji, kami menyebutnya ABK (Anak Buah Kapal) dan Puji sebagai Kapten. Perjalanan yang menyenangkan.


{di atas perahu}
(dokumentasi: Dipo)

Tidak sampai 20 menit, kami sudah tiba di daerah yang sebut saja #noname itu, deburan ombak besar mulai bergemuruh. Pantai dengan pasir putih tersenyum menyambut kami, gemuruh ombak besar yang berkejar-kejaran seolah memainkan instrumen musik alam untuk kami. Segera gue, dipo dan harit mengeluarkan kamera untuk mengabadikan keindahan pantai #noname itu. 

Pantai yang indah, tebing mengelilingi, karang dan bukit menjadi perhiasan manis, tidak sabar rasanya untuk bermain ombak. Hanya ada kami, hanya ada canda dan tawa kami, hanya ada ceria kami, serta keindahan dan kenikmatan yang luar biasa dariNya.

Gue dan Jond mulai berlari-lari kecil menghadap ombak, tak lama kemudian membiarkan tubuh kami dihempas ombak, terbawa ke sana kemari seperti anak kecil yang sangat rindu berenang. Semuanya terlepas, beban dan energi negatif terhapus dan terbawa ombak. Gue tersenyum, tertawa, melepas semuanya, membiarkan mereka tersapu dan tergulung ombat, lalu terbawa ke laut selatan. Sejenak mata gue melihat ke arah tebing, dan gue mendapatinya sedang memotret kebahagiaan kami dari atas.

ombak di Seriwe seperti bernyanyi. gue duduk di tepi pantai, memejamkan mata gue, mendengarkan irama ombak yang bernyanyi, tidak ada nada seindah itu. Jond masih terus bermain dengan ombak, tidak ada yang bisa membohongi perasaan senang, tidak ada yang mampu menutupi sukacita itu. gue kembali memejamkan mata, merasakan angin membelai wajah dan rambut gue yang tergerai, cahaya matahari berwarna biru. Saat gue membuka mata, gue tersenyum, menghadap ke arah belakang dan kembali menemukan wajah yang bersinar di antara ribuan bintang malam kemarin di bukit Seriwe. 

Setelah puas bermain ombak, dan anginpun semakin bertiup kencang dan membekukan tubuh yang basah, Puji pun mengajak kami untuk kembali ke rumahnya. "takut ombaknya makin besar dan panas" katanya. Kami kembali ke rumah Puji sekitar pukul 10.10am WITA. Apa yang dikatakan Puji ternyata benar, ombak semakin besar dan menggoyangkan perahu kecil kami. Alam dan Dipo mulai terlihat panik, sedangkan IL masih saja bercanda dan bersenda gurau. suasana memang sempat mengerikan tapi tetap dikalahkan oleh celoteh dan lelucon IL yang membuat kami tetap tertawa. "yaa saudara-saudara ada kata-kata terakhir?" katanya sambil berdiri dan bergoyang-goyang di atas kapal. "Allahu Akbar" teriak Dipo sambil tertawa beerusaha membunuh rasa takut. "Temen-temen, maafin gueeee yaaah" kata Dipo selanjutnya memecah tawa kami. ombak semakin asyik menari dan menggoyangkan perahu kecil kami yang sudah mulai miring. IL, Puji, Culin dan Enji masih saja terlihat santai, haha. Akhirnya, setelah menghadapi situasi tegang tapi lucu itu, perahu kami berhasil berlabuh di tepi pantai, "Terimakasih Tuhan" kata kami serempak, hahaha.

Dipo dan Harit memang belum sempat berenang di pantai Noname tadi, akhirnya mereka memutuskan untuk berenang di pantai tempat perahu Puji berlabuh. Gue dan Jond akhirnya ikut berenang karena ingin difoto dengan kamera underwater milik Dipo. siang itu kami berenang berempat, dan sempat mengabadikannya. Angin yang semakin kencang akhirnya menghentikan kami, bergegas kami naik dan mengenakan pakaian lalu berjalan ke rumah Puji yang letaknya hanya beberapa meter dari pantai. Dipo dan Harit juga hendak menunaikan ibadah Shalat Jumat siang itu. "Pengen ngerasain sensasinya" kata Dipo.

- Jumat siang, di Pemukiman Seriwe-

Siang itu, kami semua sudah merasakan lelah, rasa kantuk mulai menggodai tubuh untuk merebah dan mata untuk terpejam. lelah yang menyenagkan, beristirahat di sebuah rumah panggung sederhana berdinding bilik bambu namun penuh atmosfer sukacita dan cinta. Harit, Dipo, IL, Enji dan Puji melaksanakan shalat Jumat, sedang Culin dan Alam harus kembali ke Mataram karena harus kuliah. Gue dan Jond yang terbaring lelah di rumah Puji, mendengarkan khotbah shalat jumat dari kejauahan. "Tuhan memberikan pelajaran hidup kepada setiap kata sama seperti ujian sekolah. Semakin tinggi pendidikan kita, maka semakin berat pula ujiannya, karena Tuhan tau kemampuan dan kapasitas kita untuk menghadapinya" kurang lebih begitulah suara sang penceramah yang terdengar jelas dari toa masjid. 

Mata gue perlahan-lahan terpejam, memasuki alam bawa sadar dan sempat merasakan tidur kurang lebih 15 menit sampai Dipo, Harit, IL, dan Enji kembali dari masjid. Puji masih mengikuti rapat katanya, dia memang menjadi pemuda yang aktif di lingkungannya. Tak lama kemudian, Puji kembali dan makan siang sudah tersaji dengan lezat. Ikan baronang bakar, sambel dan nasi hangat serta sayur sudah tertata rapih. Kami semua melahap makanan dengan gembira, lapar hilang seketika menyantap ikan segar dan sambel ala lombok buatan istri tercinta Puji. "terimakasih Tuhan sudah mempertemukan kami dengan Puji, berkati keluarganya ya Tuhan" doa gue dalam hati saat hendak menikmati rasa lezat ikan baronang.