@ttatw "The Trees and The Wild, Saija" Lives in Java Rockin Land, 24 Juli 2011
"Saijah...dan dia kan sadar...yang tak diam dengannya...hanya waktu"
Namanya "Saijah", seorang anak pribumi. Ayahnya memiliki sawah dan seekor kerbau pada masa kolonial sedang menjajah Indonesia. Saijah dan keluarganya hanya sebagian kecil dari potret suram dan sengsaranya pribumi pada masa penjajahan. Mereka tinggal di Badur, Lebak, Banteng, Jawa Barat.
Kala itu usia Saijah masih 9 tahun, ketika koloni merampas kerbau pertama milik ayahnya. Koloni memang punya otoritas untuk merampas hak milik pribumi, apa saja, terserah koloni, dan pribumi tak punya kuasa untuk melawan, karena jika melawan mereka akan dibunuh mentah-mentah. Ayah Saijah memiliki sebuah keris peninggalan orang tuanya. di jualnya keris itu untuk membeli seekor kerbau, karena sawahnya tak akan siap ditanami padi jika tak dibajak. akhirnya, Saijah kembali memiliiki seekor kerbau, anak kecil itu sangat menyayangi kerbaunya, mereka bersahabat baik sekali. sampai ketika Saijah berusia 12 tahun, kerbau itu kembali dirampas oleh koloni. Ayah Saijah dan Istrinya merasa sangat sedih, mereka sudah tak punya cuku uang untuk membeli kerbau baru. maka dijualnya sepasang kelambu ke kota, untuk membeli kerbau baru. Saijah masih merasakan kesedihan yang dalam karena kehilangan sahabatnya. tapi segera digantikan oleh kedatangan sahabat yang baru, mereka kembali menjalin persahabatan manusia dan kerbau seperti sebelumnya. sampai akhirnya, kembali, kerbau itu di rampas oleh tentara kolonial Belanda...
Ibu saijah meninggal dunia karena kesedihan yang amat dalam akibat tanggungan hidup yang semakin berat. Ayah Saijah memutuskan untuk melarikan diri dari Badur karena sudah tak punya apa-apa, semua warisan sudah dijualnya. Namun sebelum meninggal Badur menuju Bogor, ayah Saijah dibunuh oleh tentara koloni karena tidak membawa surat jalan. Ya, tentara koloni memang punya otoritas untuk melakukan apa saja terhadap pribumi. Dan, Saijah, anak kecil berusia 13 tahun itu sebatang kara, tak punya pilihan lain selain melanjutkan hidup di tengah situasi dan kondisi yang serba berkekurangan.
Saijah hendak dijodohkan dengan seorang anak Gadis bernama Adinda, anak sahabat ayahnya. semasa kecil Saijah dan Adinda sering bersahut-sahutan di sawah ketika mereka bermain bersama kerbau miliknya masing-masing. Kisah asmara mereka perlahan-lahan dimulai kala itu. Sampai ketika Saijah memutuskan untuk meninggalkan Badur menuju Batavia, Saijah mendapat kabar bahwa di Batavia ada pekerjaan kuli untuk anak seusianya. Dipikirnya pekerjaan itu akan mampu membantunya untuk bertahan hidup, mengumpulkan uang untuk membeli dua ekor kerbau dan akan kembali ke badur untuk menikahi Adinda. Saijah dan Adinda, sepasang remaja berpipi merah itu bertemu di bawah pohon ketapang, sebuah janji telah tergurat diantara keduanya. Saijah berjanji akan kembali untuk Adinda, setelah 3 kali 12 bulan di Batavia. Adinda berjanji akan setia menanti Saijah kembali, dan menikahinya. Beberapa pucuk melati diberikan Adinda kepada Saijah, sebagai bekal penepis rindu kala mereka berpisah.
Adinda masih berdiri di bawah pohon ketapang, menyaksikan langkah demi langkah Saijah sampai bayangan tubuhnya menghilang oleh jarak. Saijah, dengan bekal mimpi dan cinta untuk Adinda, pemilik hatinya berjalan penuh asa, melewati Lebak, Tangerang, sampai ke Batavia. Di perjalanan Saijah berpikir, jika nanti ia mati di Batavia, tentu sangat sedihlah hati Adinda, penantiannya akan menjadi sangat sia-sia. karena itu dia harus menaklukan ketakutan itu, dan berjuang semampunya agar kembali, menemui Adinda, satu-satunya hati yang ia miliki.
Saijah bekerja dengan tekun, tak pernah berbuat macam-macam, hingga segalanya berjalan lancar dan tibalah 3 kali 12 bulan itu. Bekalnya untuk kembali ke Badur di rasa telah cukup, bahkan bisa membeli 3 ekor kerbau untuk Adinda, kekasih hatinya. Dengan semangat dan cinta serta rindu yang sudah membara, Saijah berjalan menuju Badur, menuju Pohon Ketapang tempat perpisahan mereka. Ya, di sanalah kembali mereka akan bertemu, Adinda telah berjanji menantinya di bawah Pohon Ketapang.
Malam hari Saijah tiba di badur, di carinya pohon ketapang itu, dan menemukannya ketika meraba goresan sebagai bukti janji pertemuannya kembali dengan Adinda. dengan setia Saijah menunggu matahari pagi bersama kedatangan Adinda. Kekasih hati yang dirindukannya setengah mati. Kekasih hati yang perjuangkannya penuh asa. bersama angin malam, bintang-bintang yang bertaburan di langit hitam, bersama daun-daunan yang menari lembut, bersama seisi alam saat itu rindu Saijah menggebu,
Hitam langit perlahan berubah, cahaya oranye menjalar ke langit hingga ufuk timur terjauh, matahari perlahan mengintip dari persembunyiannya. langit kini telah berwarna biru kehijauan, ada cahaya kuning lembut disisinya, indah seperti harapan pertemuan Saijah dengan Adinda, sang pemberi melati. diciumnya pucuk2 melati yang telah kering itu dengan lembut, sambil melayangkan pandangan ke arah perkampungan. berharap penuh melihat bayangan sosok adinda datang menghampiri.
angin pagi mulai berhembus sejuk, didengarnya daun kering bergesek, dan diharapnya itu langkah kaki adinda. rupanya itu hanya seekor ular, melewatinya dan berlalu. di lihatnya daun-daun bergoyang, diharapkannya itu akibat sentuhan lembut tangan adinda, dan rupanya benar, itu daun itu bergerak akibat sentuhan, namun bukan sentuhan tangan Adinda, melainkan Bajing yang lompat ke sana kemari, bersenang-senang menikmati pagi.
Cahaya matahari mulai terik, panas menusuk pikiran dan hati Saijah, akankah Adinda lupa dan mengingkari janjinya bertemu dengan Saijah hari itu? Tidak mungkin pikirnya, Adinda begitu tulus mencintai dan setia menantinya. Mungkin Adinda kelelahan, atau sedang membatik kain, Ya, sebentar lagi, Adinda pasti datang sebentar lagi....
hari berganti sore, Adinda tak juga nampak di pandangan Saijah. pikirannya mulai kacau, hatinya mulai tak karuan, maka berlarilah Saijah menuju perkampungan tempat tinggalnya dulu, berlari sekencang-kencangnya untuk menemui Adinda di rumahnya. namun yang didapatinya adalah, sudah tidak ada lagi rumah Adinda di sana. orang-orang Badur mengatakan padanya bahwa Adinda dan keluargnya pindah ke Lampung beberapa saat ketika kerbau milik ayahnya dirampas koloni. Ayah Adinda terpaksa meninggalkan Badur karena sudah tak punya apa-apa. Saijah kecewa, saijah tertawa penuh kesedihan......
dicarinya lesung tempat Adinda biasanya menumbuk padi, dan ketika ia menemukannya, maka diciumlah lesung itu dengan penuh kesedihan, lalu memtuskan untuk menyusul Adinda ke Lampung, tempat Adinda dan keluarganya tinggal bersama. dengan perahu kecil Saijah berlayar, tiba di daratan sumatera dan bertemu dengan orang-orang Badur yang melarikan diri kesana. Kala itu perang sedang pecah, pribumi berusaha melawan koloni yang semakin jahat dan semena-mena. Saijah tak peduli, saijah hanya ingin bertemu Adinda.
Saijah tak peduli pada letusan senjata, Saijah tak peduli pada api yang menghanguskan rumah-rumah pribumi kala itu. Dia hanya ingin memadamkan api rindu yang kian menjadi pada Adinda, dan terkabulah doa Saijah...
ia bertemu dengan Adinda...
dengan kondisi...
Adinda tertidur...
dengan busana yang telah terkoyak, beberapa luka tusukan di tubunya, membiru sudah, kaku sudah...
ya, akhirnya Saijah bertemu Adinda, bukan di bawah pohon ketapang tempat mereka mengikat janji. Bukan di tempat Adinda memberinya melati, bukan di tempat matahari menyapanya lembut saat pagi. tapi di sana, di medan perang yang telah porak poranda, hangus terbakar kekejaman penjajah.
Tak ada yang bisa dimiliki Saijah, tak ada yang diam dengannya, hanya waktu.....
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Adakah sajiah-saijah yang lain? yang berjuang tanpa putus asa memperjuangkan mimpi dan cita-citanya?
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kita memang tak akan selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, tapi beruntung dan bersyukurlah kita, memiliki apa yang kita butuhkan...
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cerita "Saijah dan Adinda" saya baca di sebuah buku berjudul "Multatuli", ditulis oleh Max Havelaar, dalam buku yang ditulis oleh Douwes Dekker, pemilik asli nama pena Multatuli.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cerita "Saijah dan Adinda" saya baca di sebuah buku berjudul "Multatuli", ditulis oleh Max Havelaar, dalam buku yang ditulis oleh Douwes Dekker, pemilik asli nama pena Multatuli.